Dr. Lia Istifhama, M.E.I (Wakil Sekretaris MUI Jatim)
Dalam sebuah hadis diterangkan:
الشُّأْمُ سُوْءُ الْخُلُقِ (رواه الطبراني)
“Putus asa adalah akhlak yang buruk.” (HR. Imam Thabrani, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 4964).
Dari hadis tersebut, kita pun diingatkan atas pentingnya keoptimisan dan betapa buruknya keputus-asaan. Tentu, hal ini menjadi self reminder penting di saat menjalani ibadah di bulan suci, karena proses peningkatan penghambaan diri kita pada Allah SWT akan sangat mendukung spirit keoptimisan diri.
Islam sendiri, dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan berulang kali tentang siklus karunia Sang Pencipta. Diantaranya adalah Surat Hud ayat 9 hingga 11.
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الإنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.”
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
“Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu dari padaku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga,”
إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.”
Maksud dari ketiga ayat tersebut adalah, bahwa terdapat golongan yang sabar di tengah musibah ataupun mendapat berkah. Namun, terdapat pula golongan yang mudah putus asa saat mendapat musibah, dan mudah terhinggapi kesombongan saat mendapat keberkahan.
Seyogyanya, saat menghadapi kesulitan atau musibah, manusia janganlah mudah berputus asa. Melainkan, mari menjadikan Agama sebagai sumber resiliensi, yaitu bertahan menghadapi dan melalui kesulitan.
Dalam Islam, diantaranya firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah Ayat 286, diterangkan motivasi hidup bahwa setiap beban permasalahan ialah dialami setiap manusia sesuai kesanggupan.
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Dalam Surat lainnya, yaitu Al-Insyirah Ayat 5, disebutkan janji Allah SWT bahwa pasti ada kemudahan atau solusi dalam setiap kesulitan.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Kemudian pada surat Ar-Ra’du Ayat 11, ditekankan motivasi untuk merubah kehidupan yang lebih baik:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Islam pun merupakan agama yang memahami fitrah manusia sehingga memberikan keringanan saat umat mukmin mengalami kesulitan. Hal ini disebut Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar. Sebagai contoh, dalam bidang ibadah diberi keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir dan Shalat Jamak Qasar.
Dengan begitu, Islam memberikan teladan bahwa kesulitan dapat dilalui namun kembali kepada diri kita sendiri, yaitu bagaimana kita membangun strategi berdamai dengan keadaan dan memberikan ruang untuk memahami ketidaksempurnaan diri. Akhir kata, jagalah asa dan engganlah berputus asa.