JAKARTA, Beritalima.com– Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga menilai, ambang batas parlemen atau lebih keren disebut Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold yang ada saat ini 4 dan 20 persen sesungguhnya sudah tinggi.
Tingginya Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold pada pemilu legislatif dan presiden lalu, ungkap laki-laki yang akrab disapa Jamil tersebut ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com, Kamis (19/11) menyebabkan banyak suara yang akhirnya sia-sia karena wakil mereka tidak lolos ke Senayan. Selain itu juga tidak bisa mengajukan calon presiden.
Bila ambang batas parlemen dinaikkan, pada pemilu nanti semakin banyak suara yang tidak berguna. Suara mereka dihitung tapi tanpa wakil di Senayan. Begitu juga ambang batas Presiden yang 20 persen, akan membuat terbatasnya calon presiden yang dapat dipilih. Akan muncul calon yang itu lagi itu lagi.
Akibatnya, tentu saja rakyat dipaksa untuk memilih calon presiden hasil pilihan partai besar seperti yang terjadi pada pemilu 2018. Ini tentu saja menguntungkan partai tertentu, sedangkan rakyat tetap saja tidak berdaya atas kuasa partai besar.
Karena itu, kata pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi
serta Riset Kehumasan ini, perlu ada kemauan semua anak bangsa termasuk partai yang kadernya saat ini duduk di Senayan agar ambang batas parlemen diturunkan menjadi 3 persen dan ambang batas presiden 10 persen.
Kalau ambang batas tersebut disetujui, tentu saja semakin banyak dan bervariasi wakil rakyat yang duduk di DPR RI. Ini merepresentasikan heterogenitas rakyat Indonesia. Calon presiden juga akan semakin bervariasi, tidak lagi seperti dua kali pemilihan presiden terakhir yang mengakibatkan anak bangsa terbelah dan masih terjadi sampai saat ini.
Sebab, partai menengah dan kecil akan berpeluang berkoalisi untuk mengusung calon melawan calon presiden yang diusung partai besar. Jadi, partai menengah dan kecil ‘tidak dipaksa’ untuk ikut partai besar dalam mengusung calon presiden dengan ambang batas 10 persen memberi peluang bagi partai menengah dan kecil melawan partai besar dalam pilpres.
Dengan begitu, lanjut Jamil, calon presiden bakal lebih banyak, bisa empat atau lima pasangan yang bakal bertarung memperebutkan suara rakyat. Hal ini tentu akan memberi peluang yang lebih banyak bagi rakyat untuk memilih calon pasangan presiden seperti terjadi pada pilpres 2004 dan 2009. Kalau itu dapat diwujudkan. lanjut dia, dominasi partai besar dapat diminimalkan. “Dan, demokrasi akan tetap bersemi di negeri tercinta,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)