Jamiluddin Ritonga: Kekerasan Terhadap Wartawan Ancam Kemerdekaan Pers

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kekerasan terhadap awak media yang menjalankan tugasnya meliput aksi demo para mahasiswa, pelajar dan masyarakat di berbagai daerah di tanah air belakangan ini sudah mengancam kemerdekaan pers di Indonesia.

Apalagi, kata pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga, Indonesia salah satu negara demokrasi terbesar dunia setelah Amerika Serikat. Demokrasi menjunjung tinggi kemerdekaan pers seperti yang dicontohkan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada awal reformasi lalu.

“Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memegang tampuk pimpinan negeri ini sesuai dengan mandat rakyat, tidak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung,” ungkap Jamil ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta akhir pekan lalu.

Jokowi yang mengaku demokratis, kata pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Riset Kehumasan serta Krisis dan Strategi Public Relation tersebut, harusnya mendukung dan melanjutkan apa yang sudah dicontohkan pendahulunya dengan menjamin kemerdekaan pers Indonesia.

Jadi, lanjut bapak dua putra jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB), kekerasan terhadap wartawan, apalagi awak media itu tengah menjalankan tugas jurnalistik tidak boleh terjadi.

Apalagi, jelas Jamil, kemerdekaan pers di Indonesia diperoleh dengan susah payah dan dalam jangka waktu yang lama.

“UU No: 40/1999 tentang Pers dengan tegas melindungi wartawan saat bertugas dari tindakan kekerasan siapa pun termasuk aparat keamanan,” kata dia.

Selain itu, awak media juga tidak boleh dihalangi untuk mendapat informasi karena
upaya menghalangi wartawan untuk mendapat informasi seperti ketika demo para mahasiswa sudah dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum.

“Karena itu, para pelaku kekerasan dan mengahalangi tersebut sudah seharusnya di proses secara hukum.

Jadi, tindak kekerasan terhadap wartawan oleh oknum aparat hukum tidak cukup hanya diselesaikan dengan minta maaf. “Harus ada penyelesaian hukum agar perbuatan tidak terus menerus berulang,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *