JAKARTA, Beritalima.com– Survei dari sejumlah lembaga mengenai elektabilitas tokoh yang dirilis belakangan ini ada yang relatif konsisten tetapi tidak sedikit pula yang bertolak belakang. Sedikitnya ada enam nama yang elektabilitas calon presiden 2024 yang relatif konsisten. Mereka adalah Prabowo Subianto, Anies Baawedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Namun, seminggu terakhir ini, kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiliddin Ritonga, muncul nama baru yang elektabilitasnya tinggi diluar enam nama tersebut. Mereka itu Airlangga Hartarto, Moeldoko, Muhaimin Iskandar dan Yaqut Cholil Qoumas. Padahal, selama ini elektabilitas mereka sangat rendah bahkan tidak muncul.
“Tentu saja moncernya nama-nama tersebut menimbulkan tanda tanya. Sebab, dalam periode itu tidak ada gebrakan dari mereka yang menonjol sehingga dapat mengerek elektabilitasnya menjadi sangat tinggi,” kata pengamat yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Sabtu (16/4) petang.
Selain itu, ada juga survei tokoh wanita yang dianggap layak dipilih bila pilpres digelar hari ini. Hasilnya, elektabilitas Puan Maharani paling tinggi. Kemudian diikuti Iriana Jokowi, Sri Mulyani, Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini dan Grace Natalie.
Hasil survei ini juga menimbulkan pertanyaan. Puan yang selama ini elektabilitasnya sangat rendah, tiba-tiba menjadi perempuan yang paling layak dipilih menjadi presiden pada pilpres mendatang.
Hal yang juga sulit diterima akal sehat, munculnya Iriana Jokowi dengan elektabilitas tertinggi kedua. Padahal, selama ini muncul ke publik saja dapat dihitung dengan jari.
Ironinya, setelah hasil survei itu dirilis, kata Jamil. banyak komentar dari pengamat yang bernada positif terhadap Airlangga Hartarto, Puan Maharani maupun Iriana Jokowi.
Kasus tersebut, lanjut Jamil, mengindikasikan survei dapat digunakan untuk menggalang pendapat umum. Kalau hasilnya valid, tentu tidak masalah, karena survei pendapat umum sudah menjadi instrument demokrasi.
“Namun, sungguh tidak beretika, bila hasil survei invalid tapi tetap digunakan untuk menggiring masyarakat memilih sosok tertentu. Ini namanya pembohongan publik,” kata Dekan Fikom IISIP Jakarta 1996- 1999 tersebut.
Lembaga survei yang seperti itu juga akan kehilangan kredibilitas. Hasil survei mereka akan dipandang masyarakat sebelah mata. Hal itu hanya dilakukan beberapa lembaga survei. Namun, masyarakat tidak peduli akan hal itu.
“Mereka mengeneralisasikan semua lembaga survei di Indonesia. Kalau hal itu terjadi, hasil survei dari berbagai lembaga survei tidak lagi akan dipercayai masyarakat. Kredibilitas lembaga survei harus dijaga,” kata Jamil
Untuk mencegah hal itu, jelas penulis buku Perang Bush Memburu Osama, sebaiknya semua lembaga survei bersama-sama membuat kode etik yang menjadi acuan bagi semua lembaga survei. “Melalui kode etik inilah nanti dapat diberikan sanksi bagi yang melanggar,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)