JAKARTA, Beritalima.com-
Putusan MK yang membolehkan parpol yang tidak punya kursi di DPRD bisa mencalonkan kepala daerah tentu layak diapresiasi. Sebab putusan itu mencerminkan prinsip demokratis.
Putusan MK itu sekaligus mencerminkan kesetaraan diantara sesama partai politik. Partai yang memiliki kursi di DPRD tidak lagi merasa superior, sementara yang tidak punya kursi dinilai inferior.
Dengan prinsip kesetaraan itu, partai besar tidak lagi bisa semena-semena memaksakan calonnya kepada partai gurem. Sebab sesama partai gurem pun bisa mengusung calon untuk berkontestasi melawan calon dari partai besar.
Dengan begitu, rakyat lebih diuntungkan karena dapat memilih beragam calon. Disini berlaku prinsip variasi yang memilih dan variasi yang dipilih.
Karena itu, paska putusan MK tentu mengubah peta politik pilkada. Tidak ada lagi partai atau koalisi partai yang mendominasi. Setiap partai berpeluang mengusung calonnya.
Hal itu setidaknya dapat meminimalkan terjadinya calon tunggal melawan kotak kosong. Dapat juga meminimalkan praktek calon unggulan melawan calon boneka.
Upaya semena-semena memaksakan calonnya akan dapat diminimalkan. Sebab, upaya demikian akan mendapat perlawanan dari partai lain, termasuk partai yang tidak memperoleh kursi.
Karena itu, calon akan bermunculan dari beragam partai. Hal ini tentunya memaksa partai untuk mencari calon yang diinginkan rakyat.
Hal itu tentunya akan mengubah paradigma menseleksi calon. Partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi memilih calon dengan pendekatan top down, tapi mau tak mau menggunakan pendekatan bottom up.
Dengan begitu, pilkada tidak lagi menerapkan demokrasi semu. Masing-masing partai berupaya menerapkan demokrasi yang sesungguhnya dengan mencari calon yang benar-benar diinginkan rakyat.
Dengan begitu, KIM Plus tentu tidak bisa lagi mendominasi Pilkada, terutama dalam menentukan calon. Superior KIM Plus dengan sendirinya akan runtuh.
KIM Plus mau tidak mau harus bersaing dengan partai lain dalam memilih calon yang dikehendaki rakyat di masing-masing daerah. Sudah tidak bisa lagi mengotak atik sesukanya calon yang akan diusungnya tanpa melihat keinginan rakyat.
Kasus calon yang diusung KIM di Banten misalnya, bisa jadi akan mendapat lawan yang tangguh. Duet yang diusung KIM dengan elektabilitas seadanya berpeluang kalah oleh calon lain yang diajukan partai PDIP dan partai lain non kursi.
Sebab, cara KIM mengajukan calonnya di Banten terkesan arogan. Ada upaya memaksakan duet calon yang elektabilitasnya sangat rendah. Sementara ada calon lain, seperti Airin, dengan elektabilitas tinggi justru ingin digagalkan pencalonannya.
Cara KIM seperti itu justru menjauhkan mereka dengan keinginan rakyat. KIM justru terkesan ingin memilih calon dan rakyat dipaksa untuk memilihnya. Untuk itu, rakyat dibuat tidak punya pilihan selain calon yang diajukan KIM. Inikan namanya arogan dan melawan keinginan rakyat.
Jadi, paska Putusan MK, KIM Plus tampaknya akan gagal memaksakan satu calon unggulan dan satu calon boneka. Hal itu terutama di daerah strategis seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
PDIP misalnya, di Jakarta setidaknya dapat mengusung sendiri calon. Karena itu, upaya KIM Plus untuk memenangkan calonnya dengan mudah dengan sendiri tidak akan terwujud.
Bahkan tidak menutup kemungkinan partai non kursi akan bersatu mengusung calon sendiri. Kalau ini terjadi, maka peluang calon yang diusung KIM Plus menang akan semakin berat.
Jadi, keluarnya putusan MK itu tentu pukulan telak bagi KIM Plus. Rencana awal untuk menang di Jakarta bisa justru sebaliknya.
Bahkan peluang Anies Baswedan maju yang sebelumnya sudah tertutup, kini jadi terbuka. Ada kemungkinan PDIP akan mengusung Anies.
Kalau itu terjadi, tentu akan jadi lawan tanding berat bagi Ridwan Kamil. KIM Plus yang awalnya merasa sudah aman karena Anies tak bisa maju, justru sekarang jadi ketar ketir.
Bahkan tak menutup kemungkinan partai non kursi juga bersatu mengusung Anies. Hal itu berpeluang terjadi karena peluang Anies menang relatif besar.
Jadi, peluang Anies maju memang jadi sangat besar. Hal itu kiranya diluar perhitungan KIM Plus.
Karena itu, PDIP kemungkinan akan mengusung Anies-Rano jadi lebih terbuka. Sebab, duet tersebut relatif diterima warga Jakarta.
Duet Anies-Rano saling mengisi. Anies akan memperoleh dukungan dari warga muslim, sementara Rano dapat menarik suara dari kalangan nasionalis.
Pilihan itu berpeluang diambil PDIP, karena ada keinginan kuat untuk mengalahkan KIM Plus di Jakarta. Peluang itu akan terbuka bila PDIP mengusung Anies.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta.(Yul)