JAKARTA, Beritalima.com– Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai tidak masalah kritik BEM UI yang menjulukinya The King of Lip Service. Kata Jokowi, sejak dari dulu dirinya telah banyak menerima berbagai julukan, mulai klemar-klemer, plonga-plongo, otoriter, bebek lumpuh, bapak bipang, hingga yang terakhir the King of Lip Service.
Meski menilai tidak masalah dengan kritik tersebut, tetapi bekas Wali Kota Solo itu mengingatkan bangsa ini mempunyai budaya, tata krama dan nilai sopan santun
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddun Ritonga menilai, tidak ada yang istimewa respon Jokowi. Semuanya normatif, yang memang selayaknya disampaikan seorang pemimpin di negara yang menganut demokrasi.
Di negara demokrasi seperti juga di Indonesia, ungkap pria yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (30/6), kebebasan berpendapat memang dilindungi oleh negara.
Karena itu, normal saja kalau Jokowi mengatakan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Justeru akan aneh kalau Jokowi mengatakan sebaliknya. “Jokowi malah bakal dinilai keluar dari koridor negara demokrasi.”
Peringatan Jokowi tentang bangsa ini memiliki budaya tata krama dan nilai sopan santun, juga sudah kerap disampaikan pemimpin negeri ini pada masa lalu termasuk Bapak Pembangunan, Presiden Soeharto termasuk yang sering menyatakan hal itu dalam berbagai kesempatan.
Masalahnya, ukuran tata krama dan nilai sopan santun tersebut juga tidak sama untuk semua etnis di Indonesia. Sopan menurut etnis batak atau Minang, belum tentu sopan menurut etnis Jawa.
Etnis Batak dan Minang yang berkomunikasi cenderung direct, bisa jadi akan dipersepsi berbeda oleh etnis Jawa yang berkomunikasi lebih indirect. Jadi, memang relatif sulit bila penerapan berdemokrasi dikaitkan dengan budaya tata krama dan nilai sopan santun seperti di Indonesia yang multietnis. Peluang miscommunication dan misperception sangat terbuka.
Persoalan budaya tata krama dan nilai sopan santun dalam praktek berdemokrasi di Indonesia, kata bapak dua putra tersebut, tampaknya perlu dioperasionalkan melalui kesepakatan nasional. Hal itu diperlukan agar praktik demokrasi di Indonesia tidak menimbulkan multi tafsir.
“Jangan sampai seseorang merasa sikap dan perilakunya masih pada koridor demokrasi, tapi pihak lain menilainya sudah tidak sesuai dengan tata krama dan nilai sopan santun. Hal ini tentu tidak baik bagi kemajuan demokrasi di Indonesia,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)