JAKARTA, Beritalima.com– Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan Rapat Paripurna DPR RI menjadi UU, Senin (5/10) malam, gelombang penolakan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap buah kerja para anggota dewan terhormat tersebut terus terjadi.
Bahkan kaum buruh, mahasiswa dan Organisasi Masyarakat (Ormas) yang merasa dirugikan dengan adanya UU Ciptaker itu turun ke jalan. Mereka meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan UU yang pembahasannya dikebut Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama dengan Pemerintah tersebut.
Di Jakarta, kaum buruh, mahasiswa berusaha melakukan aksinya di depan Istana Merdeka, sedangkan di daerah, para pendemon melakukan aksi di depan kantor DPRD. Aksi itu berakhir ricuh. Tak sedikit dari para pendemo menjadi korban keganasan aparat kepolisian.
Namun, hal tersebut tidaklah menyurutkan niat massa buruh, mahasiswa dan ormas untuk tetap turun ke jalan sampai Presiden Jokowi mencabut atau membatalkan UU Ciptaker yang mereka nilai tak hanya bermasalah dari segi proses pembuatannya tetapi juga merugikan masyarakat. Bahkan, Selasa (13/10) mereka kembali turun untuk melakukan aksi.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Senin (12/10) petang mengatakan, tampak ada upaya untuk menyudutkan para pendemo dengan menyebutkan aksi demo itu tidak murni karena ditunggangi kelompok tertentu.
Bahkan ada pejabat Pemerintah menuding para pendemo disponsori pihak tertentu. Anehnya lagi, walau disebutkan aksi demo tersebut ditunggangi tetapi tidak disebutkan siapa yang menunggangi. “Tudingan tersebut tentu perlu pembuktian. Jangan asal omong kalau tak mampu membuktikan,” kata pria yang akrab disapa Jamil ini.
Pengajar Riset Kehumasn, Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi dan Riset Kehumasan mengatakan, saatnya anak negeri menuntut pihak-pihak yang menuding itu menunjukan siapa sponsor pendemo.
Kalau tak bisa menunjukan siapa sponsor pendemo, lanjut Jamil, berarti pihak yang menuding tersebut telah melakukan perbutan keji dan kejam. “Para pendemo dapat memidanakan pihak penuding tersebut. Suka atau tidak, mereka yang demo itu dilindungi UU. “Hak setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasinya, apalagi di negara demokrasi.”
Aparat keamanan, lanjut Jamil, seyogyanya melindungi setiap warga negara yang menyampaikan aspirasi. Karena itu, tidak dibolehkan represif terhadap pendemo kacuali mereka anarkis. Kalau hal ini terjadi, sudah menjadi ranah pidana. Karena itu, tugas aparat keamanan untuk menjaga pendemo agar tidak anarkis.
Menurut Jamil, aparat keamanan harus punya kemampuan berdialog untuk meredakan tensi para pendemo. Untuk itu, pihak keamanan perlu dibekali lobbi dan negosiasi aerta pendekatan human relation. Berbekal pengetahuan ini diharapkan aparat keamanan dapat lebih bersahabat dengan pendemo.
Selain punya kemampuan berdialog, aparat juga perlu dibekali psikologi massa. “Pengetahuan ini sangat bermanfaat untuk meredakan jiwa massa sehingga benturan dan jatuhnya korban dapat diminimalkan,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)