Oleh :
Rudi S. Kamri
Tidak terasa 2019 Sudah di ambang pintu. Tanggal 17 April 2019 masa depan negeri ini akan dipertaruhkan. Apakah tetap berjalan ‘on the track’ seperti saat ini ataukah akan ‘set-back’ kembali seperti masa lalu dimana negara ini dikelola oleh kaum penjarah lapar kuasa yang membiarkan para penjahat dan mafia merajalela.
Kita pernah mengalami masa-masa suram pasca reformasi, saat Habibie yang telah meletakkan dasar era demokratisasi pengelolaan pemerintahan digergaji oleh kaum politisi yang dimotori Amien Rais dan kawan-kawan. Pasca era kepresidenan Habibie setidaknya sampai tahun 2014, negeri ini serasa dikelola ala kadarnya. Bahkan satu dekade kepemimpinan Presiden SBY, negeri ini serasa berjalan dengan sistem ‘auto-pilot’. Birokrasi berjalan apa adanya, mafia perijinan dan mafia peradilan merajalela, mafia minyak seakan selalu lapar dahaga. Yang terjadi, ratusan proyek raksasa bernilai ratusan triliun rupiah akhirnya mangkrak dimana-mana. Proyek Hambalang salah satu contohnya. Dan yang lebih memprihatinkan, SBY dengan gaya politiknya yang pragmatis dan oportunis membiarkan kaum radikalis agama seperti HTI berkembang biak dan menyusup dimana-mana
Lalu Jokowi datang. Membereskan semua kesalahan tata kelola negara. HTI sebagai organisasi dibekukan. Semua mafia minyak disikat, mafia perijinan diembat dan pembangunan infrastruktur diperkuat. Mafia penjarah lautan ditenggelamkan. Daerah terpencil diperhatikan. Dan untuk pertama kali pembangunan tanah Papua dan daerah pinggiran lainnya diprioritaskan. Mereka dilepaskan dari belenggu kegelapan. Listrik menyala ke seluruh pelosok desa. Harga BBM sama merata di seluruh Indonesia. Akses jalan terpencil dibangun dimana-mana. Untuk pertama kalinya, kita merasa bangga menjadi Satu Indonesia.
Membangun negeri yang sekian dekade salah urus, tentu tidak mudah. Perlu perjuangan yang tak kenal lelah. Waktu 5 tahun tidak akan cukup. Meskipun Jokowi telah sukses meletakkan fondasi pembangunan di semua lini. Namun harus diakui banyak sendi pembangunan yang belum tuntas diselesaikan Jokowi. Contohnya pembangunan SDM belum kelar tuntas. Kemudahan perijinan masih hebat di tingkat Pusat, tapi di daerah masih banyak kelambanan birokrasi yang harus disikat dan dipercepat.
Sistem demokrasi yang kita terapkan menjadi salah satu kendala. Banyak kepala daerah yang bebal dan hanya asyik mengumpulkan dana Pilkada. Sering Gubernur yang seharusnya menjadi wakil pemerintah pusat di daerah tidak sinkron berjalan sesuai arahan. Bahkan ada yang punya agenda berbeda. .
Birokrasi di sekitar Presiden itu menjadi PR besar bagi Jokowi di masa depan. Sebagian besar mereka tidak mempunyai kemampuan komunikasi publik yang bisa diandalkan. Sehingga sering mereka bersikap seperti pemadam kebakaran. Sehingga untuk beberapa kasus mereka seperti menjadi bulan-bulanan. Contoh sepele kasus KTP yang tercecer di berbagai tempat. Karena salah menyikapi strategi dalam memberikan informasi, masalah sepele ini menjadi bola liar. Dan harus diakui performa kerja Mendagri Tjahjo Kumolo sangat memble dan sangat memprihatinkan. Dan akibatnya beberapa kasus dengan sukses dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk menyerang Pemerintah secara brutal.
Ini menjadi pelajaran berharga bagi Jokowi agar ke depan memilih pembantu yang cakap dan mempunyai kemampuan komunikasi publik yang memadai. Dan harus dipilih figur ahli strategi komunikasi yang menyadari bahwa dalam perang informasi di era digital dan mileneal berlaku : PERTAHANAN TERBAIK ADALAH MENYERANG !!! Jangan semua masalah, Jokowi yang harus memberikan klarifikasi. Di sisi ini Jokowi harus mulai berbenah diri.
Dengan penerapan Pemilu Serentak ini dimana Pemilu Legislatif dibarengkan dengan Pemilihan Presiden resikonya adalah mesin partai pendukung terpecah fokusnya dalam mendukung Jokowi. Hal ini bisa dimengerti karena partai-partai juga berkepentingan untuk mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya di Parlemen. Intinya mesin partai pendukung tidak bisa kita harapkan bekerja total dalam memenangkan Jokowi.
Andalan utama untuk bisa memuluskan Jokowi menuntaskan pembangunan Indonesia dalam satu dekade ini ada di bahu militansi kaum relawan. Saat ini ratusan organisasi relawan Jokowi berserak di berbagai penjuru negeri. Mereka terlihat semangat, gigih dan gebyar mendukung Jokowi. Cuma satu hal yang harus dilakukan oleh mereka yaitu melepaskan ego pribadi dan organisasi untuk mau melebur diri. Bukan harus menjadi satu lembaga atau organisasi, tapi setidaknya mereka mau duduk bersama untuk ikhlas hati menyatukan gerak langkah berjuang bersama dalam satu irama. Disini peranan Tim Kemenangan Nasional (TKN) Jokowi – Ma’ruf Amin yang dipimpin Erick Thohir menjadi kunci penting untuk mendayagunakan secara maksimal para kaum relawan Jokowi.
Kenyataan faktual yang harus kita sadari, secara obyektif Indonesia masih SANGAT MEMBUTUHKAN Jokowi. Demi Indonesia yang maju dan sejahtera, kita masih membutuhkan seorang figur pemimpin yang bersih, tulus, visioner dan mumpuni. Dan saat ini kriteria itu hanya ada dalam figur seorang Jokowi. Demi masa depan Indonesia dan anak cucu kita, jangan biarkan negeri ini kembali dikuasai politisi. Mereka sebagian besar rakus kuasa dan tidak punya ketulusan nurani.
Demi Indonesia yang berazaskan Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI yang menjunjung tinggi keberagaman jangan biarkan Jokowi berjalan seorang diri. Pilihan masa depan Indonesia di tangan kita. Memilih Jokowi tidak sekedar menggunakan HATI dan EMOSI, tapi juga LOGIKA. Percayalah, tanpa Jokowi Indonesia akan nampak berbeda. Kita jangan pernah biarkan mimpi buruk itu menjadi nyata.
Mari bersatu padu bekerja keras dan cerdas untuk memenangkan Jokowi. Jangan biarkan kelompok penjahat yang rakus diri menguasai negeri. Lebih baik kita ikhlaskan saja mereka mati menangisi kegagalan yang akan berulang kembali. Innalilahi……
Salam SATU Indonesia
20122018