JAKARTA, Beritalima.com– Masa reses bukanlah waktunya anggota DPR RI bersama Pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), melainkan kesempatan wakil rakyat turun ke daerah pemilihan untuk menyampaikan berbagai program termasuk menyerap aspirasi rakyat yang bakal mereka perjuangan saat pertemuan dengan mitra kerja.
Karena itu, legislator senior yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto meminta pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) tidak dikebut atau dibahas saat masa reses, apalagi di tengah masa wabah pandemi virus Corona (Covid-19) belum berhasil diatasi di Indonesia.
Dikatakan, wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut kepada Beritalima.com, Sabtu (15/9) pagi, isi RUU Ciptaker sangat sensitif dan berpengaruh luas kepada masyarakat sehingga harus dibahas secara tatap muka, tidak melalui sarana online atau virtual seperti sekarang.
Salah satu hal sensitif yang perlu dibahas secara cermat dalam RUU lebih dari seribu halaman tersebut, kata Mulyanto, soal pengurangan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam proses penetapan fatwa halal.
Isu strategis seperti tersebut dinilai Mulyanto, perlu dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait agar tak menimbulkam gejolak di masyarakat.
“Persoalan halal-haram merupakan persoalan mendasar dalam ajaran Islam dan soal keyakinan agama bagi kaum Muslimin Indonesia. Karena itu pengaturan masalah ini harus cermat dan hati-hati,” tegas Mulyanto.
Ditambahkan Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Industri dan Pembangunan tersebut, dalam RUU Ciptaker ini sedikitnya ada dua isu penting terkait jaminan produk halal yang perlu dicermati masyarakat. Isu tentang siapa yang berwenang menetapkan fatwa halal serta pemberian fatwa halal bagi produk usaha mikro dan kecil berdasarkan ‘pernyataan’ sepihak.
Pasal 49 ayat (4) RUU Ciptaker mengubah pasal 10 ayat (2) UU No: 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang semula penetapan kehalalan produk oleh MUI menjadi: penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Sedangkan dalam pasal 49 ayat (2), RUU Ciptaker menyisipkan pasal-pasal baru, yaitu (4A), yang berbunyi: (1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil. (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Bedasarkan beleid ini, lanjut anggota Komisi VII DPR RI, Sertifikat Halal yang dikeluarkan BPJPH didasarkan pada fatwa tertulis dari MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum. Jadi MUI tidak lagi menjadi otoritas hukum tunggal dalam soal fatwa halal ini.
Banyaknya otoritas pemberi fatwa halal ini mungkin positif dalam memberi kemudahan pengurusan sertifikat halal. Namun, beresiko karena dikhawatirkan adanya penyalagunaan wewenang pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas mumpuni dalam urusan agama.
“Bila terjadi hal seperti itu, ini bakal menimbulkan keraguan, kebingungan, ketidakpastian hukum dan ketidakpercayaan masyarakat kepada penyelenggara jaminan produk halal. Ketentuan ini harus kita timbang dengan cermat,” imbuh Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi era Presiden SBY ini.
Sementara itu, kata Mulyanto, ketentuan halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil, yang cukup didasarkan pada “pernyataan” sepihak, sangat rawan penyimpangan. Pertanyaannya apakah sebuah pernyataan subyektif secara sepihak dari pengusaha kecil dan mikro tersebut dapat memberikan “jaminan” kepada masyarakat bahwa produk itu benar-benar halal.
“Kondisi tersebut cukup potensial menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan konsumen Muslim, yang akhirnya dapat menurunkan permintaan kepada usaha kecil dan mikro tersebut,” timbang Mulyanto.
Sebaiknya, saran Mulyanto, perizinan pernyataan halal untuk usaha kecil dan mikro dikeluarkan dari rezim perizinan berusaha.
Pemerintah memposisikan diri sebagai lembaga administratif, sementara MUI diposisikan sebagai lembaga internum umat yang memiliki otoritas penetapan fatwa halal.
“Sebenarnya bila Pemerintah ingin memberikan fasilitasi sertifikasi halal bagi usaha kecil dan mikro, maka itu dapat dilakukan melalui revisi PP No. 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Tidak substansial untuk diubah di tingkat UU,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)