Oleh: H. Asmu’i Syarkowi[1]
(Hakim PTA Banjarmasin)
[1] Alumnus IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988 (S-1) dan Universitas Muslim Makassar, 2001 (S-2)
Opini, beritalima.com | Negara sebesar Indonesia tidak hanya kaya dengan sumber daya alam namun juga kaya akan potensi masalah. Oleh sebab itu, siapa pun pemimpin di negeri ini, tak satu pun lolos dari berbagai masalah tersebut. Seorang pemimpin bisa jadi berhasil di satu sisi akan tetapi bisa gagal pada aspek lain. Akan tetapi, berkat persatuan dan kesatuan, berbagai masalah itu bisa dilewati.
Setiap bangsa memang memiliki jalan sejarahnya sendiri. Sebagai contoh, Irak dan Libya pernah berdiri dengan penuh percaya diri, sebelum badai politik mengguncang dan merobek sendi-sendi kenegaraannya. Dengan amarah kepada pemimpin yang dianggap menindas, rakyat dua negeri itu bangkit. Dunia menyaksikan patung Saddam Hussein ditumbangkan di Baghdad, bahkan mereka juga menggantung sang pemimpin terkuat di dunia Arab waktu itu. Libya rezim Moammar Khadafi di Tripoli juga runtuh. Salah seorang pemimpin yang secara terbuka berani melawan kebijakan internasional AS ini, kemudian harus meregang nyawa secara tragis di tangan rakyatnya sendiri.
Euforia itu singkat. Sesudahnya, yang muncul bukanlah kemerdekaan, melainkan kekacauan. Irak tenggelam dalam perang sektarian, bom bunuh diri, dan korupsi politik. Segera setelah kejatuhan ‘Sang Kolonel’, Libya berubah menjadi negeri tanpa kendali, dikuasai milisi-milisi bersenjata yang saling berebut pengaruh. Kedua bangsa itu akhirnya menyadari, kejatuhan pemimpin tidak otomatis menghadirkan masa depan yang lebih baik.
Ironinya, jalan menuju tragedi itu justru dibuka oleh sebagian tokoh mereka sendiri—baik politisi, intelektual, maupun figur publik—yang berteriak paling lantang menyerukan kebencian. Mereka meyakinkan rakyat bahwa membenci pemimpin adalah solusi, tanpa menawarkan arah jelas sesudahnya. Padahal di balik suara-suara itu, ada kepentingan asing yang siap menunggangi, menjanjikan demokrasi dan kemerdekaan, namun menyodorkan intervensi dan penjajahan gaya baru.
Bila kita menoleh lebih luas, pola serupa terlihat di Suriah, Yaman, Mesir, dan Tunisia. Suriah porak-poranda oleh perang saudara panjang yang dipicu dan diperkeruh intervensi luar. Yaman luluh lantak oleh konflik internal yang diperbesar oleh kepentingan regional. Mesir sempat terjebak dalam transisi yang penuh gejolak setelah tumbangnya Hosni Mubarak. Tunisia, yang dulu dielu-elukan sebagai “kisah sukses Arab Spring,” kini pun masih rapuh dihantam krisis politik dan ekonomi. Sebuah proxy jahat telah meluluhlantakkan gemerlap negeri.
Semua contoh itu menunjukkan pelajaran yang sama: ketika rakyat larut dalam kebencian, mereka akan kehilangan arah. Ketika tokoh-tokoh bangsanya lebih sibuk menggiring opini untuk menumbangkan pemimpin, daripada membangun solusi, maka pintu bagi campur tangan asing terbuka lebar. Dan ketika itu terjadi, harga yang harus dibayar selalu terlalu mahal: kehancuran bangsa sendiri.
Bagi kita, bangsa Indonesia, refleksi ini penting. Sesuai porsi yang diberikan kinstitusi, kita tentu berhak mengkritik pemimpin, menuntut perbaikan, dan menginginkan keadilan. Tetapi jangan sampai kritik itu muncul dari kebencian buta, Apalagi provokasi dari sebagian tokoh, membuat lantas kita kehilangan kendali atas negeri sendiri. Perubahan sejati tidak akan lahir dari tangan asing. Ia hanya mungkin tumbuh dari kesadaran dan kemandirian kita sebagai bangsa.
Irak, Libya, Suriah, Yaman, Mesir, dan Tunisia sudah membuktikan: membenci pemimpin memang mudah, tetapi membangun kembali negeri yang hancur adalah pekerjaan mustahil. Jangan sampai kita mengulang kesalahan mereka.

