Jangkrik, Pasar Sekelebat

  • Whatsapp

Oleh: Elva Mustika Rini

Wanita bertubuh gempal dengan rambut digulung menjadi sanggul itu masih bertahan dengan harga yang ia tawar, tetapi si pedagang seperti sudah mati rasa. Tangannya hanya ingin memotong ayam, bukan memotong harga dari ayam-ayamnya. Mengetahui hal tersebut, wanita itu akhirnya menyerah. Dilepasnya dua lembar uang, yakni selembar dua puluh ribu dan selembar lima ribu, untuk menebus potongan-potongan ayam yang ingin dibelinya.

Berbeda dengan pasar tradisional lain, di Pasar Jangkrik, semua dilakukan dengan serba cepat. Kegiatan tawar-menawar tidak akan berlangsung lebih dari lima menit karena calon pembeli akan segera berlalu ke pedagang lain bila keinginannya tidak terpenuhi. Tentu saja, hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Pasar tradisional “Jangkrik” tidak memberikan ruang yang memanjakan pelanggannya untuk berlama-lama dalam hal menawar dan memilih barang. Pada dasarnya, Pasar Jangkrik malah seperti tak memiliki tempat di mana-mana. Meskipun begitu, keberadaannya diakui.

Gerai pakaian bersebelahan dengan gerai penjual daging sapi dan ayam, jauh dari kata teratur seperti buku di perpustakaan. Pasar Jangkrik juga tidak memiliki bangunan seperti kebanyakan pasar tradisional sekarang. Orang-orang berlalu-lalang di lintasan yang disebut Pasar Jangkrik, pun dengan kendaraan lainnya. Pasar ini berdiri kokoh menghiasi jalanan utama layaknya lampu-lampu kota.

Karena keberadaannya yang bersandingan dengan jalan ramai —di mana aktivitas kendaraan umum beradu dengan kegiatan perdagangan— Pasar Jangrkik seringkali harus “mengalah” dan meminggirkan dagangannya. Tidak hanya itu, negosiasi dilakukan dengan sangat singkat karena mendapat tekanan dari klakson-klakson kendaraan yang merasa jalannya terhalangi. Jadi, pelanggan hanya melihat sebentar, menawar dengan harga serendah yang mereka dapat, dan deal.

Setelah itu, mereka harus kembali melanjutkan langkah agar tidak mengganggu para pengguna jalan yang lainnya. Bahkan, banyak pembeli yang menawar dan memutuskan untuk membeli barang tersebut dengan masih berada di atas kendaraan pribadi mereka karena tidak tersedianya tempat parkir. Oleh sebab itu, masyarakat sekitar seringkali menyebut Pasar Jangkrik dengan “pasar sekali lewat” atau pasar sekelebat.

Kendati demikian, Yasmi(40) tidak merasa terganggu apalagi trauma untuk kembali belanja di Pasar Jangkrik. “Dari dulu udah begini kok, jadi udah biasa. Lagian harganya udah murah dari sananya, jadi gak perlu nawar lama-lama.”
Sebagai contoh, Yasmi membandingkan harga kangkung di Pasar Jangkrik dengan Pasar Palmeriam yang letaknya masih berdekatan. Pada tahun 2017, harga dua ikat kangkung di Pasar Jangkrik tanpa menawar adalah Rp2000, dan bisa bertambah menjadi tiga ikat dengan harga yang sama jika Yasmi menawarnya. Tetapi di Palmeriam, Yasmi hanya bisa mendapatkan tiga ikat kangkung dengan harga Rp5000. Jadi, meskipun Palmeriam lebih nyaman karena sudah tertata rapi dalam sebuah gedung, Yasmi lebih memilih untuk memenuhi kebutuhannya di Pasar Jangkrik.

Selain Yasmi, Irah(46) seorang pedagang ayam potong di Pasar Jangkrik, juga tidak merasa terganggu dengan posisi pasar yang kurang menguntungkan pembeli. “Alhamdulillah, nggak pernah ada masalah. Semua yang beli di sini insyaallah balik lagi,” jelasnya, sambil memotong ayamnya menjadi beberapa bagian. Ketika ditanya mengenai waktu menawar yang singkat, Irah hanya tersenyum, lalu menancapkan lagi goloknya ke tubuh ayam. “Ya, risiko. Tawar, pas, jual!” tutupnya.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *