Jalan aspal yang tidak lagi mulus, air keruh di kubangan, bau amis yang menyengat, lalu disambut dengan aktivitas jual-beli yang padat. Itulah yang kerap disapa dengan nama pasar tradisional, lebih tepatnya Pasar Tradisional Kemiri Muka.
Pasar induk milik Kota Depok ini memiliki pesonanya tersendiri, yakni berada di sebelah Stasiun Depok Baru sehingga suara kereta yang melintas sudah terdengar ramah di telinga para penghuni. Beragam cerita selalu hadir di setiap aktivitas pasar, baik dari pihak penjual maupun pembeli, tidak terkecuali bagi si bocah lelaki yang sering berdiri di sudut sana.
“Mbak, beli tisu, Mbak,” ujar bocah lelaki bertubuh gempal tersebut. Sambil membawa beberapa tisu, ia tersenyum ramah menawarkan barang dagangannya. “Dua, lima ribu,” sambungnya. Kalimat tersebut seolah-olah sudah menjadi mantra bagi si pedagang muda itu untuk menarik calon pembelinya.
Dia adalah Januar. Seorang bocah lelaki kelahiran 2 Januari 2007 yang memiliki rasa antusiasme berjualan. Dia biasa menghabiskan harinya untuk berdiri di sudut pasar sambil menjajakan tisu dari pukul tiga sore sampai sembilan malam. Meski begitu, pendidikan Januar tetap tidak terbengkalai.
Januar menempuh pendidikannya di Sekolah Master alias Sekolah Masjid Terminal. Sekolah gratis ini memang sengaja dibangun untuk anak-anak yang berkekurangan di bilangan Terminal Terpadu Depok.
Meski usia masih hijau, Januar sudah jago dalam memasarkan barang dagangannya. Lelaki cilik itu mengatakan, ia mampu menjual satu dus berisi delapan puluh tisu dalam waktu sehari. Bakat menjadi seorang penjual sepertinya sudah mengalir di dalam darah Januar. Kemampuan berjualan tersebut ia dapatkan dari ibunya yang juga merupakan seorang penjual kopi seduh di dekat Stasiun Depok Baru, sementara ayahnya bekerja sebagai Pengangkut barang.
Sebelum menjual tisu, Januar membelinya terlebih dahulu pada agen atau pemasok untuk kemudian ia jual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Modal membeli tisu tersebut ialah Rp99.000 dan dijual kembali dengan harga Rp5.000 per dua buah tisu. Dari hasil penjualan itu, keuntungan yang diperoleh Januar, ia tabung untuk membeli peralatan sekolah.
Tidak seperti anak-anak lain yang menghabiskan waktunya hanya untuk bermain, Januar malah berdedikasi untuk berjualan demi meringankan beban orang tuanya. Ia tidak malu jika anak yang sebaya dengannya melihat dirinya berjualan, ia justru bangga karena bisa menghasilkan uang sendiri.
Karena sering berjualan di pasar yang dekat dengan stasiun kereta, Januar ingin menjadi masinis kereta saat sudah besar nanti. (Maharani Sabillah / PNJ)
Maharani Sabillah
Mahasiswa
Politeknik Negeri Jakarta
Jurusan Jurnalistik