KALIMANTAN SELATAN, beritalima.com – Provinsi Jawa Timur kembali mampu mempertahankan predikat A Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Predikat tersebut diberikan kepada Jatim atas Laporan Hasil Evaluasi SAKIP Tahun 2018.
Sebagai bentuk apresiasi atas prestasi yang diperoleh Jatim, Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Dr. Ir. Heru Tjahjono, MM menerima piagam penghagaan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) RI Drs. Syafruddin, M.Si di Golden Tulip Hotel Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (6/2).
Selain Pemprov Jatim, terdapat 5 pemerintah kabupaten/kota di Jatim yang menerima predikat A SAKIP. Antara lain Kabupaten Ngawi, Lamongan, Sidoarjo, Gresik, Banyuwangi.
Sekdaprov Jatim mengatakan, manfaat SAKIP secara umum adalah mampu mengubah paradigma kerja menjadi kinerja, memudahkan untuk menentukan program atau kegiatan yang bersifat inovasi.
Penerapan SAKIP di Pemprov Jatim, lanjutnya, bertujuan utama untuk mengawal sistem pengendalian berbasis kinerja berjalan dengan baik. Salah satunya melalui forum pertanggungjawaban kinerja kepala perangkat daerah kepada gubernur yang dilakukan dua kali setahun.
“Seluruh kepala perangkat daerah bergiliran satu-persatu mempresentasikan langsung kinerjanya secara pribadi tanpa pendamping. Hal itu bukti komitmen pimpinan dalam implementasi SAKIP,” ujarnya.
Menurutnya, faktor utama dalam percepatan pembangunan Jatim adalah komitmen pimpinan. Baik komitmen kepala daerah maupun kepala perangkat daerah.
Harapannya, ke depan, dalam menerapkan SAKIP adalah agar SAKIP dipedomani dalam menjadikan pemerintah lebih berkinerja dengan menggunakan cara yang efektif dan efisien.
Terapkan SAKIP, 151 Pemda di Wilayah II Hemat Rp 22,3Triliun
Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin mengatakan penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) di 11 pemerintah provinsi dan 150 kabupaten/kota yang dikelompokkan dalam wilayah II berhasil menghemat Rp 22,3 Triliun. Secara nasional, SAKIP tahun 2018 telah berhasil menghemat pemborosan anggaran sebesar Rp 65,1 triliun.
Penerapan SAKIP memastikan anggaran hanya dipergunakan untuk membiayai program ataupun kegiatan prioritas yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan. Penghematan anggaran terjadi dengan dihapusnya sejumlah kegitan yang tidak penting , yang tidak mendukung kinerja instansi.
Menteri Syafruddin menegaskan, evaluasi SAKIP bukan sebagai ajang kompetisi tentang keberhasilan mencapi indikator penilaian, melainkan lebih kepada bagaimana mengasistensi, mendampingi dan memberi saran perbaikan untuk masalah yang dialami. Pihaknya akan membatu daerah daerah dalam menyusun perencanaan, mengevaluasi pelaksanaan program, memberikan masukan, serta mengawasi target capaian program tersebut.
Mantan Wakapolri ini menjelaskan, saat ini bukan saatnya lagi bekerja hanya untuk membuat laporan, atau hanya untuk menyerap anggaran, namun sekarang waktunya bekerja fokus dari hilir ke hulu program. Efisiensi bukan hanya tentang cara memotong anggaran, tetapi juga penerapan manajemen berbasis kinerja. Misal penerapan e-government melalui e-budgeting untuk menghindari ‘program siluman’ yang berpotensi penyimpangan.
“Namun realitanya, e-budgeting juga tidak terintegrasi utuh dengan outcome kinerja, sehingga belum mampu mencegah pemborosan. Untuk itu, dibentuklah e-performance based budgeting sebagai program quick win yang harus selesai dalam periode 2 (dua) tahun mendatang,” jelasnya.
Senada dengan Menteri, Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan (RB Kunwas) Kementerian PANRB M. Yusuf Ateh mengatakan, untuk mewujudkan efisiensi dalam birokrasi, tidak cukup hanya dengan memotong anggaran pada pertengahan tahun anggaran berjalan saja, sebagaimana praktek yang selama ini terjadi.
Menurutnya, efisiensi harus dibangun secara sistemik, bukan melalui kebijakan-kebijakan temporal yang mengakibatkan efisiensi tidak dilaksanakan secara berkelanjutan. Efisiensi harus dimulai dengan memperbaiki pola pemanfaatan anggaran sejak pertama kali birokrasi merencanakan hasil/kinerjanya, sebagaimana prinsip akuntabilitas berorientasi hasil yang menjadi amanat Undang-Undang.
Ada lima peraturan perundangan yang perlu dipahami bersama, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP, serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional.
Kelima peraturan perundangan tersebut mengamanatkan birokrasi untuk menciptakan akuntabilitas kinerja melalui SAKIP yang tidak lain merupakan pengejawantahan manajemen kinerja sektor publik di Indonesia. “SAKIP mengarahkan birokrasi kita untuk menetapkan program dan kegiatan berdasarkan pada prioritas dan kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Ditambahkan, SAKIP adalah katalisator terciptanya efisiensi melalui penguatan implementasi manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja. Tahapan penerapan SAKIP dimulai dengan menetapkan sasaran strategis pada masing-masing instansi pemerintah sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Sasaran strategis tersebut harus disertai dengan ukuran keberhasilan dan target yang jelas dan terukur, sehingga instansi pemerintah dapat menjawab keberhasilan atau kegagalan pencapaian sasarannya.
Untuk mendorong percepatan pelaksanaan Akuntabilitas kinerja, Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan (RB Kunwas) melakukan bimbingan teknis dan asistensi kepada 83 kementerian/lembaga dengan 418 Unit kerja, 34 pemerintah provinsi dengan 1027 OPD dan 518 Kabupaten/kota dengan 20.756 OPD. (rr)