Oleh: Purwanto, S.Pd
Tokoh Politisi Millenial
Baru-baru ini kita disuguhkan kembali video viral kemarahan Walikota Surabaya Tri Rismaharini menelepon seseorang dengan nada lantang.
Kali ini tidak kepada bawahannya melainkan disinyalir kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur.
Pemicunya adalah Perebutan bantuan mobil PCR dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk test covid-19 yang diclaim oleh Risma diperuntukkan kepada warga Surabaya.
Risma menilai mobil PCR tersebut diperuntukkan kepada Surabaya. Disisi lain BNPB Jatim juga menilai mobil PCR dioperasionalkan untuk Jawa Timur.
Menarik kesimpulan dari perkara saling claim tersebut hendaknya tidak diekpose kepublik, yang seolah-olah hal semacam itu menunjukkan kesan sok bisa dan seakan terkontaminasi dengan politisasi.
Yang seharusnya kedua pimpinan wonder women lebih dikenal dengan emmaknya Surabaya dan Jawa Timur tersebut mencontohkan satuan gugus tugas dengan cara sikap yang bijaksana dalam menangani masa sulit seperti ini.
Dari sisi kepemerintahan Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Gubernur Khofifah Indarparawansa sama halnya menjatuhkan martabat serta kewibawaan kepemimpinan pemerintah dalam menangani pandemi corona.
Dua pucuk pimpinan dikepemerintahan tersebut tidak mencontohkan kepada masyarakat dalam penanganan musibah yang melanda Indonesia dengan profesional.
Seharusnya kedua emmak-emmak itu menjadi contoh yang bijak tidak malah saling claim sok bisa.
Namun, sebaliknya seakan-akan keprofesionalan tidak bersemayam dalam diri kedua pimpinan tersebut.
Dalam masa situasi pandemi seperti ini alangkah baiknya tidak mengumbar energi yang memantik reaksi masyarakat menjadi lebih berfikir negatif kepada pemerintah.
Seyogyanya yang lebih baiknya adalah bagaimana caranya bekerja sama dengan baik. Sehingga permasalahan dapat ditangani dengan lebih baik. Ini dengan sendirinya akan muncul hal positif.
Seperti pepatah mengatakan “Kekalahan bisa menjadi batu pijakan atau batu sandungan, tergantung apakah sikapmu positif atau negatif”. (Napoleon Hill
Penulis motivasi dari Amerika Serikat 1883-1970).
Kembali lagi sikap yang dilakukan oleh pucuk pimpinan tersebut terkesan terindikasi tekanan mempolitisasi. Sehingga memancing para Stakeholder kedua belah pihak untuk saling serang.
Lantas yang menjadi pertanyaan buat apa saling serang?
Tidakkah masyarakat sekarang ini membutuhkan kepemimpinan yang bijak, adil dan dapat memakmurkan rakyat.
Kewibawaan negara saat ini tengah dirundung kegelisahan. Bukan malah pucuk pimpinannya menunjukkan sok bisa.
Kesan kedua pucuk pimpinan tersebut dapat menjatuhkan kewibawaan serta martabat kepemerintahan atau kepemimpinan kepada bangsa dan negara serta rakyat Indonesia pada umumnya. (*)