Jejak Syukur di Tanah Subur Petiyintunggal, Sedekah Bumi yang Tak Pernah Padam

  • Whatsapp

Foto: Kades Petiyintunggal, Mat Asroful (Baju putih) saat pembukaan malam pentas wayang kulit di Halaman Balai Desa Setempat, Kamis (21/8/2025).

GRESIK, beritalima.com – Di Desa Petiyintunggal, Kecamatan Dukun, aroma tanah dan hasil pertanian selalu punya makna lebih dari sekadar panen. Setiap tahun, desa yang dikelilingi hamparan sawah subur ini menggelar ritual sedekah bumi, sebuah perayaan syukur yang diwariskan leluhur dan tetap dijaga meski zaman kian modern.

Di tengah gempuran budaya baru yang serba instan, warga Petiyintunggal terus merawat dan menjaga, bahwa tradisi adalah identitas. Mereka berkumpul, membawa makanan olahan hasil bumi, berdoa bersama, lalu larut dalam kegembiraan lewat seni tradisional.

“Kami ingin mengingatkan diri sendiri bahwa rezeki ini tidak datang begitu saja. Ada doa, ada syukur, ada kebersamaan,” tutur Kepala Desa Petiyintunggal, Mat Asroful, Jumat (22/8/2025).

Bagi masyarakat setempat, sedekah bumi bukan hanya perayaan. Ia adalah penanda perjalanan panjang desa yang hidup dari pertanian. Tradisi ini sudah ada jauh sebelum generasi sekarang lahir. “Sejak kecil saya sudah melihat kegiatan ini. Orang-orang tua kami selalu bilang, kalau sampai ditinggalkan, hasil bumi bisa tidak berkah. Pernah sekali tidak dilakukan, dan konon saat itu terjadi musibah,” kenang Asroful.

Tahun ini, rangkaian sedekah bumi digelar selama empat hari, 19–22 Agustus 2025. Dimulai dari doa bersama dan pengajian di makam dusun, berlanjut dengan syukuran Metu Ambeng. Setelah itu, warga berpesta budaya, wayang kulit dan campursari menghibur di balai desa, sebelum ditutup dengan manakib di hari terakhir.

“Tradisi ini kami padukan dengan kegiatan keagamaan. Budaya bisa menjadi sarana yang indah untuk dakwah, sekaligus cara agar anak-anak muda tetap kenal akar mereka,” ujar Kades muda ini.

Tak hanya menyalakan ingatan akan leluhur, sedekah bumi juga menjadi perekat sosial. Di saat orang kota sering sibuk dengan dunianya sendiri, warga Petiyintunggal justru menemukan ruang kebersamaan lewat meja panjang berisi ambeng, doa yang dipanjatkan bersama, dan hiburan dalam pertunjukan seni.

“Kalau ada sedekah bumi, rasanya desa jadi hidup. Semua berkumpul, tidak peduli tua atau muda, kaya atau sederhana. Yang penting kami bersama,” ungkap seorang warga.

Bagi Petiyintunggal, sedekah bumi adalah cermin, betapa kuatnya hubungan manusia dengan tanah, rezeki, dan sesamanya. Di balik kesederhanaannya, tersimpan harapan agar tradisi ini tidak lekang oleh waktu.

“Selama masyarakat masih guyup, saya yakin sedekah bumi akan terus ada. Tahun depan, mudah-mudahan lebih meriah, tapi tetap dengan jiwa yang sama, syukur dan kebersamaan,” kata Asroful.

Perayaan ini sepenuhnya digelar oleh Pemerintah Desa Petiyintunggal. Warga pun menyambut gembira, sebab seluruh rangkaian acara dapat dinikmati tanpa adanya iuran warga. Empat hari kebersamaan itu bukan hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga meneguhkan rasa syukur, guyub, dan cinta warga terhadap tradisi leluhur yang tak pernah lekang oleh waktu.

(Moh Khoiron)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait