JAKARTA, Beritalima.com-
Di akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru diselimuti dua “hantu besar” yang menggentayangi perekonomian Indonesia. “Hantu” tersebut berupa defisit transaksi berjalan serta kondisi investasi langsung yang makin menipis.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga mash mencatat defisit.
“NPI pada kuartal II-2024 menunjukkan perbaikan dengan mencatat defisit US$600 juta, lebih rendah dibandingkan dengan defisit US$6 miliar pada kuartal I-2024,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam rilis Kamis (22/8/2024).
Kendati defisit NPI mengecil tetapi “hantu” defisit transaksi berjalan dan menipisnya surplus pada investasi langsung justru memburuk:
1. Transaksi Berjalan Defisit, Waspada Investor Asing Kabur dari RI
Defisit yang kembali terjadi pada transaksi berjalan untuk kuartal II-2024 tercatat US$3,02 miliar, lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yang tercatat US$ 2,41 miliar. Hal ini semakin memperpanjang tren defisit menjadi lima kuartal beruntun atau sejak kuartal II-2023.
Defisit kuartal II-2024 merupakan yang terparah sejak kuartal I-2020.
Defisit lima kuartal beruntun ini berbarengan dengan pudarnya commodity boom serta meningkatnya ekonomi dalam negeri. Selama Jokowi memimpin Indonesia (kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2024), transaksi berjalan selalu mencatat defisit.
Pengecualian terjadi pada kuartal III-IV 2020, kuartal III-IV 2021 dan kuartal I-IV 2022 serta kuartal I-2023.
Transaksi berjalan selalu berada di zona merah kecuali pada booming komoditas pada 2021-2022 atau anjloknya impor selama pandemi 2020.
Sebagai catatan, Indonesia diuntungkan dengan booming komoditas pada akhir 2021-awal 2023 ditopang oleh membaiknya ekonomi global pasca pandemi serta perang Rusia-Ukraina. Harga komoditas andalan Indonesia ada dalam level tinggi mulai dari batu bara dan crude palm oil atau CPO (minyak kelapa sawit).
Pada 2022, harga batu bara sempat tembus di atas level US$400 per ton sementara harga minyak kelapa sawit berada di atas level MYR 7.000.
Pasca 2022, terlihat harga komoditas batu bara dan CPO mengalami penurunan dengan harga rata-rata yang cukup rendah.
Dilansir dari Refinitiv, sejak awal 2024 hingga 22 Agustus 2024 saja, harga rata-rata batu bara tercatat sebesar US$134,56 per ton. Sedangkan harga rata-rata CPO dengan periode yang sama sebesar MYR 3.939 per ton.
Rendahnya harga komoditas andalan Indonesia ini berdampak pada neraca barang khususnya bagian ekspor.
Surplus neraca perdagangan Indonesia secara total pun cenderung mengalami penurunan meskipun masih dalam kategori surplus 51 bulan beruntun atau lebih dari empat tahun.
Defisitnya transaksi berjalan semakin patut menjadi perhatian mengingat harga komoditas dalam tren pelemahan. Artinya, transaksi berjalan berpotensi kembali defisit dan semakin memperpanjang tren defisit ini layaknya yang terjadi sebelum pandemi Covid-19.
Jika dilihat lebih lanjut, defisit transaksi berjalan pernah terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama yakni pada 2012 hingga awal 2020 sejalan dengan naiknya impor dan melandainya harga komoditas.
Defisit transaksi berjalan yang membesar bisa menekan rupiah. Pasalnya, defisit menunjukkan adanya kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) yang meningkat. Kondisi tersebut juga mencerminkan adanya pemburukan pada fundamental ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, defisit transaksi berjalan yang besar dan berkepanjangan akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kemudian, BI berpotensi menaikkan suku bunganya dan akan berdampak negatif bagi iklim bisnis di Indonesia.
2. Surplus Investasi Langsung Menipis, Orang RI Investasi di Luar Negeri
Investasi langsung tetap membukukan surplus sejalan dengan optimisme investor terhadap prospek ekonomi dan iklim investasi domestik yang terjaga. Namun jika dilihat lebih dalam, surplus yang tercatat hanya sebesar US$1,38 miliar pada kuartal II-2024. Angka ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal III-2020 yang pada saat itu surplus sebesar US$0,99 miliar.
Sementara jika kita keluarkan momen Covid-19, maka surplus investasi langsung kali ini merupakan yang terendah sejak kuartal IV-2018.
Investasi langsung di sisi aset mengalami kenaikan menjadi US$2,56 miliar pada kuartal II-2024. Tren kenaikan ini terjadi bahkan sejak kuartal IV-2020 dengan mayoritas lewat instrumen utang.
Jika periode covid-19 diabaikan, maka investasi langsung di sisi aset merupakan yang tertinggi sejak kuartal IV-2016 atau sekitar delapan tahun terakhir.
Untuk diketahui, peningkatan arus keluar neto dari sisi aset menunjukkan bahwa warga Indonesia semakin berbondong-bondong untuk berinvestasi di luar negeri secara langsung mengalami kenaikan.
Sementara pada sisi kewajiban, investasi langsung tercatat sebesar US$3,9 miliar pada kuartal II-2024 atau terendah sejak kuartal III-2020.
Jika periode covid-19 diabaikan, maka investasi langsung di sisi kewajiban merupakan yang terendah sejak kuartal IV-2018 atau sekitar enam tahun terakhir.
Sisi kewajiban ini menunjukkan bahwa investasi langsung yang masuk secara neto ke dalam negeri. Oleh karena itu, jika angkanya mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa semakin sedikit investasi yang masuk ke dalam negeri.
Dengan asumsi kondisi perekonomian tak kunjung membaik (global maupun domestik), maka bukan tidak mungkin sebanyak banyak investor yang berinvestasi di luar negeri dibandingkan di Tanah Air.
Ketika hal tersebut terjadi, maka roda perekonomian di dalam negeri akan semakin sulit untuk dapat bergerak dan tumbuh sesuai dengan target optimis pemerintah.
Semakin berkurangnya surplus pada sisi kewajiban maka ini mencerminkan minat investasi yang menyusut. Padahal, Indonesia mengincar investasi, termasuk asing, sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.(Yul)