Oleh : Emha Husein Alphatani
SAAT ini puluhan juta kader dan simpatisan Partai Demokrat di tanah air bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di tubuh Partai Politik berlambang Bintang Mercy tersebut.
Sebab sejauh ini kekisruhan itu bukan menunjukkan akan mereda malah bertambah kobaran apinya, setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak gugatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kepada 12 kader PD penggerak Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatra Utara, 4-5 Maret 2021.
Dengan ditolaknya gugatan itu, berarti pelaksanan KLB sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Demikian juga dengan legalitas peserta KLB untuk menggunakan atribut Partai Demokrat, karena kedua hal ini yang menjadi inti dari gugatan AHY ke PN Jakpus.
Berbagai asumsi mencuat saat Pelaksanaan KLB PD di Deli Serdang yang berlangsung dengan agenda selaras dengan tata aturan berkongres. Tak ada unsur pemaksaan dalam setiap pengambilan keputusan, semua digelar demgan azas demokrasi dan organistoris.
Semua kader sadar, Kongres atau Kongres Luar Biasa adalah Pemegang Kedaulatan tertinggi sebuah organisasi atau partai politik untuk memilih Ketua Umum dan mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Partai Demokrat versi AHY melontarkan berbagai tudingan ke kubu PD KLB, mulai dari sebutan KLB Abal-Abal sampai ke campur tangan pemerintah untuk ‘merampas’ PD dari tangan Clan Cikeas dengan cara yang tidak elegan. Bahkan SBY menuding Moeldoko sebagai figur yang tidak tahu balas budi dengan mengkudeta AHY.
Pelaksanaan KLB di Sibolangit sempat mau dibuat ricuh kelompok tertentu dengan menurunkan sejumlah preman mengenakan atribut PD ke lokasi KLB. Beruntung panitia lokal sigap menghadapi situasi dan bisa menghalau para preman yang hendak mengacaukan pelaksanaan KLB. Tentu ada aktor intelektual yang menyutradarai tindakan premanisme itu.
Menjelang pelaksanaan KLB, PD versi AHY memecat 12 kader penggagas KLB dari keanggotaannya. Ke-12 kader itu di antaranya terselip nama Johny Allen Marbun dan Marzuki Alie, dua nama yang kental dengan berdirinya Partai Demokrat.
Dua nama yang kental dengan penciptaan rekor pemenangan pada Pemilu 2009 yang mencapai 20 persen sekaligus bisa mengantar SBY sebagai Presiden untuk kedua kalinya tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya. Arogansi benar-benar menguasai emosi pengurus DPP PD versi AHY tanpa melihat pelaksanaan KLB itu selaras dengan UU partai politik.
Lantas dimana ke-12 nama itu di pulihkan keanggotannya ? Di dalam sidang KLB itulah ke-12 nama yang dipecat kubu AHY dipulihkan kembali keanggotannya.
Berbagai teror kembali mengarah ke DPP PD versi KLB yang telah memilih Jend TNI (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum dan Marzuki Alie sebagai Ketua Dewan Pembina. Pekan itu, ratusan Ketua DPC peserta KLB menerima surat pemecatan dari DPP PD versi AHY.
Timbul pertanyaan yang sangat mendasar. Kalau seandainya pelaksanaan KLB itu cacat hukum atau disebut abal-abal oleh kubu AHY, mengapa harus panik dan melakukan pemecatan kepada para Ketua DPC Peserta KLB ?
Surat Pemecatanpun diberlakukan sehari sebelum pelaksanaan Kongres tetapi diterimakan beberapa hari setekah pelaksanaan KLB. Orang yang buta politikpun bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi di kubu AHY. Panik.
Sampailah pada 31 Maret 2021, dimana Pemerintah melalui Kemenkumham resmi menolak hasil KLB Partai Demokrat, yang dilaksanakan di Deli Serdang yang berhasil memilih Ketua Umum dan menetapkan AD/ART tahun 2021 sebagai hasil keputusan Kongres yang sah dan mengikat.
Penolakan itu disambut euforia luar biasa dari PD kubu versi AHY. Saat itu pula kembali lontaran istilah KLB Abal-Abal kembali terdengar mulai dari tingkat Pusat sampai Anak Ranting. Ada yang menyebutkan para Pembegal Partai ada juga yang mengistilahkan Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan (GPK), Kudeta Parpol dan berbagai istilah miring lainnya.
Tapi apakah hal itu memgendorkan semangat para pelaku KLB ? Sama sekali Tidak. Dengan bermodalkan semangat dan cita-cita luhur, pelaku KLB menempuh jalur hukum di PTUN dengan gugatan bernomor 150/G/2021/PTUN.JKT dan gugatan No. 154/G/PTUN.JKT Ke PTUN dengan Tergugat Menteri Hukum dan HAM RI.
Dalam gugatan itu penggugat meminta majelis hakim membatalkan dan mencabut SK Menkumham tentang jawaban permohonan atas pendaftaran perubahan AD/ART dan perubahan susunan kepengurusan 2021-2025 PD versi Deli Serdang yang telah menetapkan Jenderal (Purn) TNI Dr Moeldoko sebagai Ketua Umum dan drh Jhony Allen Marbun sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat 2021-2025.
Bersamaan dengan jalannya sudang di PTUN, ke-12 kader yang dipecat tetap mengikuti sidang di PN Jakpus dan akhirnya 12 Agustus 2021, Ketua Majelis Hakim H Syaifudin Zuhri menyatakan putusan perkara Nomor 236/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST itu tidak dapat diterima, karena AHY sebagai penggugat beritikad tidak baik lantaran tidak pernah menghadiri sidang mediasi. Memutuskan gugatan (AHY) tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Buat PD versi KLB, keputusan itu kunci untuk memenangkan gugatan keabsahan KLB Partai Demokrat di PTUN. Sebab dengan putusan itu, semua pihak dapat menyaksikan langsung, penyelenggaraan KLB Demokrat di Sibolangit sah secara hukum dan penggunaan atribut Demokrat kubu KLB atau Moeldoko dianggap sah secara hukum.
Apakah sampai disitu pertarungan? Tidak, perseteruan mencari kebenaran masih bergulir. Kini gugatan digulirkan ke PTUN Jakarta dengan tergugat Menkumham. Gugatan teregistrasi dengan No. 150/G/2021/PTUN.JKT dan 154/G/2021/PTUN.JKT, di mana yang menjadi tergugat adalah Menteri Hukum dan HAM RI selaku pejabat atau badan tata usaha negara yang mengesahkan AD/ART 2020 sarat kecacatan.
Apa sebenarnya yang dinilai kader PD versi KLB menyalahi etika berpartai ? Dalam AD/ART PD versi Kongres V Jakarta yang keras dugaan disusun di luar Kongres V PD terindikasi besarnya dominasi Cikeas dalam menjalankan roda partai.
Bagaimana tidak, jabatan Tinggi Majelis Partai, Ketua Umum dan Waketum dijabat oleh Trio Yudhoyono. Sehingga menimbulkan pertanyaan mendasar Apakah PD milik keluarga ?, atau milik seluruh rakyat Indonesia?.
Juga dalam AD/ART 2020 itu disebutkan, PD hanya didirikan Alm Vence Rumangkang dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), padahal dalam Akta Pendirian PD tercatat 99 nama yang berjuang, berkorban harta dan waktu untuk mendirikan PD.
Bahkan nama SBY tak tercantum selaku salah satu pendiri Partai Demokrat. SBY baru bergabung pada 2003 dan dengan ucapan sendiri mengatakan “Izinkan saya Bergabung Menjadi Anggota Partai Demokrat”.
Akibatnya, kader menilai AD/ART 2020 ini, terkesan sangat tidak adil dan telah mencederai nilai dan marwah dari Parpol yang demokratis.
Kalau kita membedah AD/ART 2020 banyak ditemukan keganjilan dan pencederaan terhadap demokrasi
. Padahal SBY pernah dijuluki sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Dengan kenyataan ini, predikat itu tentu saja tidak pantas lagi disandang oleh SBY.
Pengamputasian kewenangan Mahkamah Partai pun secara eksplisit bisa ditemukan dalam AD/ART 2020. Padahal dalam UU parpol, Keputusan Mahkamah Partai (MP) bersifat final dan harus dilaksanakan DPP. Kenyataannya peranan MP dikerdilkan, keputusan MP bukan lagi final melainkan hanya bersifat rekomendasi dan keputusannya berada di tangan Majelis Tinggi.
Beranjak dari realita di atas, proses peradilan di PTUN Jakarta ditunggu oleh masyakarat Indonesia untuk melihat demokratisasi di tubuh Partai Demokrat. Keputusan PTUN Jakarta diyakini dapat mengubah citra dan roh Partai Demokrat ke depan.
Dalam konteks ini tentunya kearifan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang menyidangkan gugatan No.150/G/2021/PTUN.JKT dan gugatan No. 154/G/2021/PTUN.JKT sangat diperlukan. Harapan kader dan anak bangsa tentunya bagaimana PTUN mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan serta mengedepankan azas Demokrasi sebagai dasar pijakan politik. Bukan politik Dinasti yang sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu.