Oleh:
Ustadz Taufik Damas
Jilbab itu pakaian kepantasan. Kepantasan dipengaruhi oleh dua hal: hajat dan adat. Zaman dulu, pakaian kepantasan perempuan merdeka berbeda dengan perempuan budak (amah). Perempuan merdeka harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian tertentu, seperti mata dan telapak tangan. Pakaian perempuan budak cenderung terbuka.
Plus, kala itu, menggoda atau menjahili perempuan budak di tempat umum dianggap hal biasa. Oleh karenanya, agar perempuan merdeka tidak digoda dan diganggu oleh para begundal, maka pakaian mereka harus berbeda dengan pakaian perempuan budak.
Zaman kini sudah tidak ada perbudakan, dan tidak ada penandaan seperti itu. Hajat dan adat berubah karena memang pasti dipengaruhi oleh waktu dan tempat.
Hukum pun bisa berubah, karena kaidahnya mengatakan: al-hukmu yaduuru ma’a illatihi, hukum berlaku bersamaan dengan alasan/sebab lahirnya hukum. Jika alasan/sebab hilang, maka hukumnya hilang atau berubah. Tapi kaidah ini tidak berlaku pada perkara yang hukumnya sudah ditetapkan secara pasti berdasarkan ijma’, kesepakatan seluruh ulama. Contohnya adalah Rukun Islam yang sudah ditetapkan sebagai al-ma’lum min ad-dini bi adh-dharurah.
Nah, soal jilbab ini tidak termasuk dalam Rukun Islam. Jadi, jika ada perbedaan pendapat, ya biasa-biasa saja lah. Yang berjilbab atau tidak, biasa-biasa saja. Karena, yang penting adalah akhlakmu, bukan pakaianmu.
Jika kamu memakai pakaian tertentu, lantas kamu merasa dirimu lebih mulia daripada orang dengan pakaian yang berbeda, maka ketahuilah bahwa pakaianmu itu adalah pakaian terburuk untukmu.
Muslim bin Yasar dari ayahnya.
_Tahzib Hilyatil Awliya, hlm. 395_