Jimly Ashiddiqie: MK Harus Batalkan Pilpres 2019 Gunakan PT Pileg 2014

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com– Ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) sesuai Undang Undang Pemilu No: 7/2017 tidak boleh diterapkan pada Pemilihan Presiden 2019.

Soalnya, Undang Undang Pemilu itu menggunakan PT hasil pemilu legislatif (pileg) 2014. Bila itu diterapkan, sama saja dengan merusak atau membunuh sistem demokrasi di Indonesia yang sudah berjalan sejak reformasi digulirkan 20 tahun silam.

Karena itu, untuk menjamin berlangsungnya demokrasi sesuai dengan tujuan reformasi, Mahkamah Konstitusi (MK) harus membatalkan PT 20 persen untuk pemilihan presiden.

Ya, memang masalah PT 20 persen itu menjadi pembincangan hangat dalam diskusi publik yang digelar Policy Centre Pengurus Pusat Ikatan Alumni (Iluni) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI, Depok, Sabtu (14/7).

Sebagai pembicara dalam diskusi yang dibuka Ketua Umum Iluni UI, Arief Budhy Handono antara lain mantan Ketua MK, Jimly Ashiddiqie serta Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Acara dipandu Ketua Policy Center Iluni UI, Berly Martawardaya.

Penerapan ambang batas menggunakan PT hasil Pileg 2014 sama saja dengan merusak demokrasi. “Pilpres 2019 yang pelaksanaannya disamakan dengan Pileg tidak bisa menggunakan PT hasil Pileg 2014,” kata Jimly.

Pilpres rangkaian dari pemilu legislatif. Karena pelaksanaan serentak, tidak ada patokan untuk menggunakan PT, kecuali pelaksaan Pileg didahulukan.

Jimly menyebut, bila dirinya masih menjadi hakim MK, dia bakal mengabulkan gugatan yang diajukan sejumlah akademisi dan pegiat pemilu ke MK.

“Penerapan PT 20 persen harus dibatalkan. Bisa dengan jalan mencabut atau mengurangi. Bila 20 persen itu patolannya hasil Pileg 2014, itu penetapan yang salah,” kata dia.

Pasal dalam UU Pemilu soal ambang batas capres tak sesuai untuk Pipres 2019, apalagi Pilpres 2019 yang kemungkinan diikuti presiden incumbent.

Pada kesempatan serupa, Titi Anggraini mengatakan, adanya ambang batas capres menunjukkan sistem politik yang tak sehat karena PT itu membuat terjadinya ketidakadilan dan terkesan diskriminatif terhadap parpol baru.

Padahal, kata Titi, beberapa waktu lalu MK mengabulkan tuntutan partai lama juga harus melalui proses verifikasi KPU bersama dengan parpol baru untuk ikut Pemilu Legislatif 2019. “Kenapa hasil pileg 2014 digunakan untuk syarat pilpres 2019,” ujar Titi.

Dia juga berharap MK segera memutuskan gugatan yang diajukan pihaknya serta 12 warga negara Indonesia lain. Dia meminta ambang batas capres kalau bisa dikurangi atau dibatalkan sebelum 10 Agustus 2018.

“Jika keputusan MK dikeluarkan setelah 10 Agustus 2018, isinya menolak atau menerima gugatan, itu akan berlaku untuk Pemilu 2024 yang akan datang.”

Sebelumnya, sejumlah akademisi, aktivis, pegiat pemilu menggugat UU Pemilu ke MK. Gugatan ini dilakukan atas Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas capres agar dihilangkan.

Dalam ambang batas capres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.
Mengacu UU itu, parpol harus berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *