Catatan: Yousri Nur Raja Agam
ADANYA bisik-bisik yang tidak nyaman, tentang badan yang mengurusi rahasia negara, yakni BIN (Badan Intelejen Negara) dipimpin petinggi partai, mermbuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tidak nyaman. Seolah-olah kesannya, kegiatan intelejen negara ditunggangi “kepentingan” politik. Walaupun sebenarnya, penunjukan mantan Gubernur DKI Jaya, Soetijoso itu tidak ada hubungannya dengan kedudukan Bang Yos – sapaan Soetijoso – sebagai Ketua Umum DPP PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia).
Kecuali itu, dengan ditempatkannya Tito Karnavian sebagai Kapolri, posisi Budi Gunawan yang sebelumnya “lebih layak” menduduki jabatan itu, justru tetap sebagai Wakapolri. Nah, agar bisik-bisik tidak nyaman tentang kedudukan pimpinan BIN, Jokowi mendapat masukan, sebaiknya BG – panggilan akrab Budi Gunawan – dijadikan pimpinan BIN.
Sesuai dengan prosedur, maka Jokowi mengajukan “calon tunggal” sebagai Kepala BIN yang baru Komisaris Jenderal Polisi (Komjen) Budi Gunawan kepada pimpinan DPR. Setelah melalui aturan yang berlaku, dan dibahas di Komisi I DPR, lalu diputuskan dalam paripurna, maka terpenuhilah ketentuan untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai Kepala BIN.
Memang ada gonjang-ganjing, protes dan dukungan terhadap BG, Jokowi bersikukuh untuk menetapkan BG menjadi Kepala BIN. Penetapan itu ditandai dengan pelantikan Budi Gunawan menjadi Kepala BIN yang sekaligus menaikkan pangkatnya dari Irjenpol menjadi Jenderal Polisi, Pada saat pelantikan, Jumat (9/9/2016) pukul 17.40 WIB, dibacakan Keputusan Presiden No.102/P/2016 tertanggal 9 September 2016. Dengan demikian, berakhir pula masa jabatan Soetijoso sebagai Kepala BIN yang dijabatnya sejak 8 Juli 2015.
Budi Gunawan adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1983. Meski tidak meraih bintang Adhy Makayasa atau lulusan terbaik Akpol 1983, pria kelahiran Surakarta 11 Desember 1959 itu banyak yang menyatakan bahwa ia dikenal cerdas dan piawai.
Selain itu, ada pula pertanyaan apa yang membuat Jokowi mantap menetapkan BG menjadi Kepala BIN. Maka baik kita telusuri. Sebelum menjabat Wakapolri, BG pernah menduduki jabatan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Kapolda Bali, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, Kapolda Jambi. Dan yang “perlu digarisbawahi” BG adalah mantan ajudan Presiden Republik Indonesia kelima Megawati Soekarnoputri – yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan..
Dalam rapat Komisi I DPR telah diambil keputusan bahwa Komjen Pol Budi Gunawan layak dan patut menjadi calon Kepala Badan Intelijen Negara. Begitu kata Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari, kepada sumber Koran DOR, di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 8 September 2016.
Saat ramai pemberitaan yang mempergunjingkan rekening gendut aparat kepolisian, nama BG juga disebut-sebut. Namun, penyelidikan internal kepolisian menyatakan rekening BG tersebut tidak ada indikasi tindak pidana. Maka terjawablah pemberitaan yang kontroversial itu.
Tidak hanya itu, kehadiran BG dianggap sebuah keberanian Jokowi mengubah tradisi. Sebab sebelumnya, para petinggi BIN, atau sebelumnya bernama BAKIN, KIN, BPI dan BRANI yang bekerja secara rahasia itu selalu dari kalangan militer atau TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tetapi, pernyataan itu terbantah, sebab BIN pernah dipimpin oleh perwira tinggi Polri, yakni mantan Kapolri Jenderal Soetanto tahun 2009 hingga 2011. Memang hanya dua tahun Soetanto menjadi Kepala BIN saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menduduki jabatan ke dua bersama Wapres Boediono.
Sekedar mengingatkan, BIN itu, saat setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, mulai tahun 1946 berdiri badan intelejen yang pertama, bernama BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia) yang dipimpin Kolonel TNI Zulkifli Lubis, hingga tahun 1958. Kemudian ganti nama menjadi BKI (Badan Kordinasi Intelejen) tahun 1958-1959 dipimpin oleh Kol.Laut Pirngadi. Tahun1959-1965 ganti nama menjadi BPI (Badan Pusat Intelejen dengan pimpinannya dr.Soebandrio.
Saat terjadinya peristiwa G-30-S/PKI, pimpinan BPI dipercayakan kepada Letjen Soeharto (1965-1966)’ Sebutan BPI diubah menjadi KIN (Komando Intelejen Negara) yang dipimpin oleh Brigjen Yoga Sugomo (1966-1967). KIN kemudian berubah menjadi BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen) yang dipimpin Soedirdjo (1967-1968), dilanjutkan oleh Mayjen TNI Sutopo Yuwono (1968-1974), serta kembali kepada Jenderal TNI Yoga Sugomo (1974-1989). Kemudian diserahterimakan kepada Soedibjo (1989-1996) dan Letjen Muthojib (1996-1998), berikutnya dipimpin Letjen TNI Zaini Azhar (1998-1999).
Ketika pemerintahan beralih ke era reformasi, pimpinan BAKIN dipercayakan kepada Letjen TNI Arie Kumaat (1999-2001). Namun, tahun 2001, nama BAKIN diubah menjadi BIN (Badan Intelejen Negara). Untuk pertama kali BIN dijabat oleh Letjen TNI AM Hendro Prijono (2001-2004) dan Mayjen TNI Sjamsir Siregar ((2004-2009).
Setelah itu, untuk pertamakalinya BIN diserahkan kepada petinggi Polri (Kepolisian Republik Indonesia), adalah kepada mantan Kapolri, Jenderal Polisi Soetanto (2009-2011). Setelah itu dikembalikan kepada TNI, yakni Letjen TNI Maciano Norman (2011-2015) dan mantan Gubernur DKI Jaya, Letjen TNI Soetijoso (2015-2016).
Nah, sekarang pucuk pimpinan BIN untuk yang ke dua kalinya kembali dipercayakan kepada petinggi Polri setelah Soetanto, yakni Jenderal Polisi Budi Gunawan.
Tentu, kiprah BG di ranah intelejen ini akan mendapat penilaian dari para senior, akademisi dan pengamat. Bahkan, BIN sebagai alat indera negara yang mendengar, melihat, meraba dan mengolahpikir segala aktivitas secara “rahasia” itu, juga akan dipelototi oleh pihak asing. Sehingga, di badan intelejen inipun harus mempunyai kemampuan untuk melakukan penggalangan, bahkan gerakan teror dan antiteror.