JAKARTA, Beritalima.com– Legislator Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak mengkritisi Peraturan Presiden (Perpres) kemudahan impor yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Soalnya, Perpres tersebut sangat menguntungkan ‘mafia impor’.
Apalagi, kata anggota Komisi VI DPR RI tersebut dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Beitalima.com, Sabtu (25/4) malam, kata ‘Mafia Impor’ ini ramah diperbincangkan pelaku usaha termasuk legislator yang membidangi perindustrian dan perdagangan di Parlemen setelah praktek ‘kotor dan busuk’ tersebut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir beberapa waktu lalu menyebutkan ada praktek kotor dalam impor alat kesehatan (alkes).
Disebutkan, impor alkes mencapai 90 persen dari kebutuhan. Itu artinya, hanya 10 persen bahan baku alkes dan farmasi dari dalam negeri. Sisanya merupakan impor yang tentu saja menguntungkan ‘mafia impor’. Nominal impornya juga sangat fantastis, 1 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 15 triliun (data BPS 2019).
Dari data BPS itu, kata anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, alat elektronik untuk medis pada peringkat pertama yakni dengan 358,8 juta dolar AS, menyusul perangkat elektronik medik dan radiologi 268 juta dolar AS, alat X-Ray 87,2 juta dolar AS, alat bedah, cetakan plastik dan perangkat hiegenis 53,5 juta dolar AS.
Pada saat impor begitu besar, papar Amin, Pemerintah pimpinan Jokowi justru mengeluarkan Perpres No: 58/2020 yang berisi penyederhanaan dan kemudahan izin impor.
Dalam perpres tersebut, persyaratan teknis untuk izin impor dapat ditangguhkan dalam keadaan tertentu (kebutuhan mendesak, terbatasnya pasokan dan terganggunya distribusi) seperti tertera dalam pasal 5 ayat 3.
Persoalannya, jelas pemegang gelar Master Manajemen Universitas Negeri Jember, Jawa Timur ini, penetapan keadaan tertentu itu, dapat dilakukan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian bersama pejabat yang ditunjuk atas nama menteri.
Pejabat tersebut bisa saja Dirjen atau siapapun, lewat mekanisme rapat koordinasi (pasal 4 ayat 2). Itu artinya, Presiden bisa ‘cuci tangan’ ketika impor besar-besaran terjadi (dan ini boleh dilakukan tanpa izin persyaratan teknis) sehingga bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri.
“Keadaan tertentu sesuai pasal 5 ayat 3 yang membolehkan impor tanpa persyaratan teknis juga tidak detail. Misalnya saat harga melebihi tingkat kewajaran. Tidak dijelaskan patokan angka atau presentasenya. Atau disebutkan ‘terganggunya distribusi dan kurangnya pasokan’ yang membuka peluang pelaku usaha oligopoli yang berfungsi sebagai price maker, dapat menahan supply dan mengontrol distribusi lalu bermitra dengan mafia impor. Pasal 5 ayat 3 ini jelas-jelas adalah pasal ‘karet’,”jelas Amin.
Selain memberikan keleluasaan kepada importir, Pasal 4 dan 5 ini juga menabrak ketentuan yang tertuang dalam UU No: 7/2014 tentang Perdagangan, dimana perizinan impor dilakukan Menteri Perdagangan (pasal 49 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 UU 7/2014).
Pasal 6 Perpres Kemudahan Impor ini juga menyebutkan BUMN dapat ditugaskan melaksanakan impor produk/barang untuk pemenuhan kebutuhan, ditugaskan Menteri BUMN. “Ini juga berpotensi tumpang tindih kewenangan karena di UU Perdagangan (Pasal 45) menyebutkan bahwa “Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal sebagai importir berdasarkan penetapan menteri.
Parahnya, kata laki-laki kelahiran Kebumen ini, Perpres Kemudahan Impor juga dapat menegasikan UU diatasnya. Dalam Pasal 10 Perpres ini disebutkan bahwa ketentuan peraturan UU mengenai pemberian persyaratan perizinan impor tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpres ini. ”Ini seakan-akan UU yang bertentangan dengan Perpres menjadi tidak berlaku, atau dengan kata lain, Perpres berkedudukan lebih tinggi dibanding UU,” kata Amin.
Amin menilai, barang impor diperlakukan sebagai ‘raja’ dimana pada pasal 8 Perpres itu disebutkan narang impor dapat diberikan fasilitas pajak, kepabeanan dan cukai. “Ini terjadi disaat produk-produk lokal khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terus dimarjinalkan tanpa dibuka akses pasar dan insentif yang memadai.
“Tanpa adanya fasilitas fiskal saja (seperti pasal 8 Perpres 58/2020), barang impor seringkali lebih murah dibanding produk lokal. Contohnya BBM. Bahkan Dirut Pertamina mengungkapkan sekarang BBM Impor lebih murah (masa wabah COVID-19), semua kilang minyak dalam negeri bisa tutup.”
Ya, memang BBM impor saat ini lebih murah sangat dimungkinkan karena minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) turun drastis hingga minus (-37,63 US$ per barel). Sedangkan harga minyak yang jadi patokan dalam negeri adalah MOPS (Mean of Platts Singapore) yang penurunannya tidak setajam Minyak jenis WTI.
Akibatnya, harga keekonomian BBM dalam negeri masih sangat tinggi karena harga minyak mentahnya berpatokan pada MOPS, sedangkan BBM luar negeri berpatokan pada WTI. (Harga WTI minus akibat storage terlalu penuh dan permintaan terus menurun akibat wabah COVID-19).
Belum lagi komoditas pertanian Indonesia, yang seringkali barang impor sektor pertanian lebih murah dibanding produk petani lokal. Hal ini karena biaya logistik yang mahal, produktifitas lahan yang rendah, dan tata niaga hasil pertanian yang dikuasai pengepul (pasar oligopoli).
“Perpres ini sangat membahayakan bagi produk-produk lokal bangsa Indonesia, karena barang impor akan semakin membanjiri Indonesia. Padahal saat ini berdasarkan data BPS, Neraca Perdagangan Indonesia Maret 2020 surplus 743 juta US$. Nilai Ekspor Maret ini 14,09 miliar dolar AS dan Impor 13,35 miliar dolar AS. Apakah ada tekanan asing Februari dan Maret 2020 yang menyebabkan munculnya Perpres 58/2020,” kata Amin Ak bertanya. (akhir)