Jokowi: Tidak Ada Toleransi Bagi Yang Menghambat Pengembangan Industri Farmasi Dalam Negeri

  • Whatsapp

Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak memungkiri bahwa Indonesia masih lemah dalam konteks kemandirian industri obat, vaksin Covid-19, dan alat-alat kesehatan (alkes) di saat pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir dua tahun di dalam negeri.

Hingga kini pemerintah pun masih mencari solusi guna memecahkan masalah tersebut.

“Masih menjadi kelemahan serius yang harus kita pecahkan,” kata Presiden Jokowi saat membacakan pidato kenegaraan di Gedung Parlemen Jakarta, Senin, 16 Agustus 2021.

Namun di sisi bersamaan, kata Jokowi, pandemi juga telah mempercepat pengembangan industri farmasi di dalam negeri, termasuk pengembangan vaksin merah putih dan juga produksi oksigen.

Dia pun mewanti-wanti agar jangan ada satu pun pihak yang mempermainkan misi kemanusiaan Covid-19 di dalam negeri.

“Untuk kesehatan, ketersediaan dan keterjangkauan harga obat akan terus kita jamin. Tidak ada toleransi sedikitpun terhadap siapapun yang mempermainkan misi kemanusiaan dan kebangsaan ini,” tuturnya.

Sementara itu, anggota DPR Rahmad Handoyo dari Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan, kita harus memberi peluang yang sama kepada perusahaan farmasi swasta nasional dan BUMN untuk memproduksi obat yang dibutuhkan negara.

“Ingat, perusahaan swasta juga penopang ekonomi nasional. Saya kira jika industri farmasi swasta di luar BUMN bisa tumbuh besar, saya kira yang untung adalah bangsa kita,” katanya kepada redaksi, Jumat, 13 Agustus 2021.

Menurutnya, tidak mungkin penanganan Covid-19 saat ini hanya dilakukan oleh pemerintah, namun harus mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan.

“Soal obat-obatan, kita dorong kepada pemerintah untuk jenis obat tertentu seperti obat antivirus, bisa diproduksi di Indonesia sehingga kita tidak terlalu tergantung pada obat impor dari luar negeri. Itu menjadi salah satu solusinya,” kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah ini.

Dia mengatakan parlemen akan mendorong perusahaan farmasi di luar BUMN untuk bisa memproduksi obat-obatan di dalam negeri. “Ketika perusahaan farmasi swasta mampu memproduksi kebutuhan obat-obatan dalam negeri justru kita sambut baik.”

Menurutnya, siapapun pihak yang mampu memproduksi obat-obatan yang dibutuhkan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini harus disambut baik.

Industri farmasi dalam negeri, baik BUMN maupun swasta harus dipercepat dalam perizinan, tidak dihambat sehingga dapat meningkatkan produktifitas untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan dalam negeri.

“Kita harus fair siapapun perusahaan farmasi yang bisa memproduksi obat dan multivitamin yang dibutuhkan rakyat, silahkan saja. Rakyat akan senang, pemerintah akan senang, dan industri juga akan tumbuh,” ucapnya.

Terkait penyegelan PT Harsen, salah satu industri farmasi lokal yang memproduksi obat Ivermectin, Rahmad Handoyo mendukung langkah BPOM tersebut. Namun dia mengingatkan, semua pihak harus diberi hak untuk memproduksi Ivermectin.

“Kalau kemarin itu ada masalah antara BPOM dengan PT Harsen soal Ivermectin, tentu itu ranahnya BPOM. Tapi syukurlah itu sudah selesai dan PT Harsen harus diperbolehkan kembali memproduksi. Tentu tak hanya Indofarma atau Kimia Farma, PT Harsen juga harus diberi hak untuk memproduksi Ivermectin atau obat-obat Covid-19. Menurut saya harus ada asas kesamaan,” katanya.

Namun dia mengingatkan, karena ini bukan obat bebas, tentu tidak bisa semua orang bisa mengkonsumsi tanpa pengawasan dari dokter. “Jangan sampai obatan-obatan keras seperti Ivermectin bisa dibeli bebas tanpa resep dokter,” ujar Rahmad.

Senada dengan Rahmad Handoyo, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ratu Ngadu Bonu Wulla mengatakan berkaitan dengan ketersediaan obat Covid-19, saat ini kerja pemerintah belum maksimal. Dia memberi contoh saat Presiden Jokowi melakukan inspeksi obat-obatan ternyata tidak tersedia obat di beberapa apotik.

“Nah, ini tidak boleh terjadi apalagi pada situasi pandemi. Masyarakat harus memastikan bahwa obat selalu tersedia sehingga mereka bisa mendapatkan perawatan,” ujarnya.

Menurutnya pemerintah harus memberikan dukungan kepada semua pihak termasuk swasta untuk memproduksi obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat tapi dengan catatan harus lewat SOP dan tentu di bawah pengawasan BPOM karena ini menyangkut nyawa manusia.

“Proses perizinan dan pengawasan harus berjalan dengan seefektif mungkin karena kondisi saat ini sedang krisis dan darurat. Jangan sampai kebutuhan obat-obatan masyarakat tidak terpenuhi karena proses perizinan dan administrasi yang memakan waktu berminggu-minggu,” tegasnya.

Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyegel pabrik obat Ivermectin milik PT Harsen Laboratories pada Jumat, 2 Juli 2021 lalu, meninggalkan banyak pertanyaan. Pasalnya, penyegelan yang sudah berlangsung selama satu bulan ini dilakukan saat permintaan masyarakat akan obat yang disebut wonderdrug lantaran dinilai mampu mengobati pasien Covid-19 ini sedang tinggi-tingginya.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ade Armando, yang bersikap kritis terhadap langkah BPOM melalui pernyataan di akun media sosialnya, menilai bahwa kebijakan penyegelan pabrik Ivermectin terlalu berlebihan.

Menurutnya, BPOM seharusnya tidak terlalu kaku dalam menjalankan perannya, serta mau terbuka dengan perkembangan situasi yang ada. Ade menilai, kebijakan tersebut justru mencegah pemenuhan kebutuhan masyarakat akan Ivermectin.

“Saya betul-betul enggak ngerti. Dalam situasi krisis seperti ini, kok BPOM itu seperti berusaha mencegah,” kata Ade Armando kepada Kureta, Minggu, 15 Agustus 2021.

“Kalau cuma memperingatkan, it’s good. Tinggal bilang aja ini bukan obat Covid-19 ya, ini hanya buat obat cacing. Tapi enggak usah juga dicegah, dilarang, sampai PT Harsen-nya diblokir, diancam, bahkan dipaksa untuk menghentikan produksi,” ujar dia.

Ade menuturkan, sejumlah negara telah mengumumkan temuan mereka akan kegunaan baru dari obat antiparasit itu. Bahkan, sejumlah pesohor juga telah membagikan artikel dan jurnal ilmiah yang mendukung teori Ivermectin mampu melawan Covid-19 melalui akun media sosial mereka.

Kendati validitas teori dan temuan tersebut masih perlu diuji, kata Ade, harusnya BPOM memiliki pertimbangan lain sehingga tidak terlalu gegabah dalam mengeluarkan kebijakan penyegelan pabrik PT Harsen Laboratories sebagai produsen Ivermectin.

“Kalau pun tidak (dapat menyembuhkan/melindungi pasien dari Covid-19), kan pertanyaannya adalah apakah dampaknya besar atau enggak? Jadi kita bisa hitung risiko, kan? Jika memang itu ternyata enggak bisa menyembuhkan atau melindungi orang dari Covid, tapi kalau diminum dampaknya apa ya?” kata dia.

“Nah ini juga enggak ada efek sampingnya. Efek sampingnya itu baru diketahui ada, jika obat ini digunakan dalam jumlah yang besar dan berkelanjutan. Kalau enggak diminum dalam jumlah yang besar dan berulang-ulang, ya efek sampingnya itu enggak ada,” tutur Ade Armando.

Seperti diketahui, Ivermectin disebut efektif mencegah masuknya virus corona jenis baru dan telah dipakai oleh banyak negara.

Obat ini menjadi viral sejak studi kolaboratif yang dipimpin oleh Monash Biomedicine Discovery Institute (BDI) dengan Institut Infeksi dan Imunitas Peter Doherty (Doherty Institute) muncul ke publik.

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa obat anti-parasit seperti cacing gelang Ivermectin yang sudah tersedia di pasaran dapat membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dalam waktu 48 jam. Hal itu diungkapkan oleh Kylie Wagstaff dari Monash Biomedicine Discovery Institute.

“Kami menemukan bahwa dengan dosis tunggal pada dasarnya dapat menghapus semua viral load selama 48 jam, dan bahkan pada 24 jam ada pengurangan yang sangat signifikan dalam hal itu,” kata Wagstaff, seperti dikutip dari SciTechDaily, Senin, 9 Agustus 2021.

Penelitian terbaru dari Sheba Medical Center di Tel Hashomer, Israel, menegaskan bahwa Ivermectin, obat yang digunakan untuk melawan parasit di negara-negara dunia ketiga, dapat membantu mengurangi lamanya infeksi bagi orang yang tertular virus corona.

Bahkan menurut Prof. Eli Schwartz, pendiri Center for Travel Medicine and Tropical Disease di Sheba, Ivermectin bisa menekan biaya pengobatan penderita Covid-19 hingga sekitar 1 dolar AS sehari. Dari penelitian Schwartz juga terbukti 72 persen sukarelawan yang diobati dengan ivermectin dinyatakan negatif virus pada hari keenam. Sebaliknya, hanya 50 persen dari mereka yang menerima plasebo dinyatakan negatif. (red)

beritalima.com

Pos terkait