JQH NU: Pancasila Harus Menjadi Ideologi Yang Final Namun Produktif Untuk Kesejahteraan

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com | Pancasila harus menjadi ideologi yang final namun produktif, fungsionalnya adalah menyejahterakan dan menjadi solusi atas persoalan bangsa. Pernyataan ini disampaikan Saifullah Maksum, Ketua Umum Jamiyyah Qurro’wal Huffadh (JQH) Nahdlatul Ulama dalam webinar DPP Forum Komunikasi santri Indonesia (FOKSI), pada hari Kamis (16/7).
Menurut Saifullah, langkah-langkah menuju implementasi Pancasila yang pertama adalah hukum kita harus berpacu pada Pancasila, menjadikannya sebagai mekanisme hukum. Kedua adalah pendekatan ideologis kepada masyarakat dan pemimpin yang sesuai dengan perilaku keseharian karena perilaku adalah kunci dari uswatun khasanah di masyarakat. 
Ketiga adalah Pancasila menjadi pemikiran praksis dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang berlandaskan Pancasila sila kelima. Karena sila kelima dalam Pancasila akan selalu menjadi momok bila tidak diwujudkan dalam program yang kongkrit dan nyata. 
“Jika semua agama, ras, suku, dan budaya bangsa menjadikan Pancasila sebagai norma dan dasar tertinggi maka semua akan clear. Dan dalam hal ini harus menjadi prinsip dasar yang dipatuhi bersama,” ujarnya.
Sunanto, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah menyatakan, di usia Indonesia yang menginjak 75 tahun seharusnya kita tidak perlu memperdebatkan Pancasila sebagai ideologi. 
“Bagi kami Muhammadiyah, dasar negara sudah final. Namun tantangan kita saat ini bagaimana kita membangun Negara yang berkemajuan. Maka kita jangan menjebak Pancasila dalam birokrasi Pancasila,” katanya. 
Menurut Cak Nanto, sapaan akrabnya, Pancasila harus masuk dalam ruang budaya dan sosial di masyarakat. Seharusnya Pancasila masuk dalam karakter kebudayaan dan semua pembelajaran-pembelajaran di segala lini. 
Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan Bursah Zarnubi berpandangan bahwa Pancasila sebagai filosofi dan Pancasila sebagai bagian dalam menjaga keragaman suku, agama, dan elemen lainnya. 
Menurut Bursah, Pancasila sebagai platform kesamaan pandangan yang sudah final, menjadi komitmen bersama, menjadi rumah besar, dan tidak boleh terjebak pada problematika formalitas.
“Saat ini ada adu domba dari kepentingan orang yang ingin mengeksploitasi bangsa ini. Menurut saya generasi muda jangan terlibat dengan pandangan seperti itu, karena beban besar menanti generasi muda. Maka seharusnya anak-anak muda harus lebih memikirkan Pancasila pada nilai sosial-ekonomi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan lainnya,” pungkasnya. 
Menurut Twedy Noviady Ginting, Bendahara Umum DPP KNPI, ada beberapa yang melatarbelakangi mengapa Pancasila masih dibahas dalam bangsa ini. Pertama masih banyak yang menjadikan Pancasila sebagai simbol pajangan. 
Kedua masih banyak yang mempertentangkan agama dan Pancasila, lalu terjadi amnesia Pancasila pasca reformasi karena Pancasila diidentikkan sebagai produk Orde Baru yang dianggap kurang baik. Yang terakhir, rakyat belum mendapatkan manfaat dari Pancasila yang pada akhirnya perdebatan itu menjadi relevan atau tidak relevan.
Twedy mengharapkan nilai-nilai Pancasila harus masuk pada sistem hukum Indonesia. 
“Solusinya adalah Pancasila sebagai sistem hukum, karena sistem regulasilah yang mengakibatkan tatanan bangsa dan negara ini tetap berjalan,” ujar mantan Ketua Umum GMNI ini.
Dalam diskusi yang sama, Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat menyampaikan di umur kemerdekaan Indonesia yang akan memasuki usia 75 tahun, topik pembahasan Webinar seharusnya tidak lagi tentang bagaimana menjaga Pancasila. 
“Seharusnya kita saat ini membahas bagaimana membumikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, bahkan lebih jauh lagi, memperkenalkan dan mempromosikan Pancasila kepada negara-negara lain di dunia,” katanya. 
Sahat menceritakan pengalaman tiga kali diundang ke luar negeri, yakni ke Sri Lanka, Mesir, dan China. 
“Dalam tiga kesempatan ini, saya menjelaskan tentang Pancasila kepada para pemuda dari mancanegara. Mereka heran kenapa Indonesia yang majemuk dapat bersatu. Saya menjawabnya, karena Indonesia sepakat pada dasar negara yaitu Pancasila,” ujarnya. 
Sayangnya, lanjut Sahat, isu Pancasila saat ini dijadikan sebagai komoditas politik saja di antara para elit-elit politik dan elemen lainnya. Padahal harusnya semua pihak membicarakan penerapan Pancasila, terkhusus kepada generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alpha. 
“Kita harus melihat bagaimana nasib peradaban bangsa Indonesia ke depannya. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai negara semua untuk semua. Bahwa petani, nelayan, buruh, guru, pegawai, pengusaha, politisi, semuanya seharusnya sama-sama memiliki Indonesia, merasakan keadilan dan kesejahteraan,” tegasnya.
Sahat memandang dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah dasar negara yang paling tepat di tengah bangsa yang majemuk, bukan paham-paham komunis, khilafah, liberalis, ataupun cara-cara pengelolaan negara seperti masa Orde Baru.
“Saat ini kita menghadapi liberalisasi yang banyak menguntungkan pemilik modal. Padahal kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif harus juga dirasakan oleh masyarakat kecil. Saya apresiasi pemerintahan Pak Jokowi yang memberikan stimulus UMKM di masa pandemi ini. Stimulus UMKM adalah salah satu perwujudan dari Pancasila, yakni memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia,” kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI ini.
Terkait hubungan komunikasi antar elit politik, Sahat mengingatkan tentang para pendiri bangsa yang walau berbeda pendapat bahkan paham ideologi dapat tetap membangun komunikasi yang cair dan baik.
“Seharusnya para tokoh bangsa dan elit politik saat ini juga dapat menunjukkan komunikasi yang baik dan akrab. Sehingga rakyat tidak hanya dipertontonkan dengan tindakan yang saling mengecam tapi melihat bahwa para tokoh bangsa dan elit politik juga tetap membangun silaturahmi walaupun berbeda pandangan. Dengan ini, rakyat tidak ikut-ikutan membangun tembok permusuhan. Walaupun berbeda pandangan, kita tetap bersatu dan bersama-sama membangun bangsa,” pungkasnya. 
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, sebagai pembicara terakhir melihat adanya keresahan akibat kurangnya politik keterwakilan yang tidak representatif. 
“Saat ini kita kehilangan semangat Pancasila dalam perbedaan pandangan. Padahal dulu para pendahulu kita telah mencontohkan implementasi Pancasila pada kehidupan nyata perpolitikan kita,” katanya.
Usman mengingatkan, di masa awal kemerdekaan, Soekarno dapat tetap berkomunikasi akrab dengan pendiri bangsa lainnya walaupun berbeda pandangan. 
“Kita terbawa suasana masa lalu dimana dalam beberapa momen terjadi pertentangan di antara kelompok ataupun partai. Seharusnya saat ini kita mengupayakan, bagaimana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait