Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)
Opini, beritalima.com | Dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha (K.H. Bahaudin Nursalim) pernah bercerita tentang seorang sahabat Nabi yang memiliki tampilan fisik yang jauh dari kesempurnaan. Tubuhnya kecil, pakaiannya selalu kebesaran, wajahnya tidak tampan, namun langkahnya tegap dan penuh percaya diri. Siapa gerangan sahabat itu? Dialah Julaybib r.a.
Nama Julaybib mungkin tidak sepopuler Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali. Ia bukan bangsawan Quraisy, bukan pemimpin pasukan, bahkan nasabnya tidak diketahui dengan pasti. Nama “Julaybib” sendiri berasal dari bentuk kecil kata “jalbab” (pakaian panjang), seakan menjadi panggilan yang menggambarkan postur tubuhnya yang mungil. Ia miskin, tidak memiliki keturunan, dan sering terpinggirkan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, sebagian sahabat bahkan merasa risih dengan penampilannya.
Namun, di balik segala keterbatasan itu, Julaybib adalah seorang mukmin yang luar biasa. Ia mencintai Rasulullah SAW dengan tulus dan menaati Allah tanpa pamrih. Ia tak dikenal luas di dunia, tapi dikenal oleh langit. Nabi SAW melihat keikhlasan yang tidak terlihat oleh mata manusia — dan justru karena itulah beliau sangat mencintainya.
Suatu ketika Rasulullah SAW mencarikan istri untuk Julaybib — seorang perempuan salehah dari kalangan Anshar. Meski awalnya keluarga perempuan itu menolak, sang putri menerima dengan lapang dada karena ingin taat kepada perintah Nabi. Maka terjadilah sebuah pernikahan yang bukan disatukan oleh status atau rupa, melainkan oleh iman.
Puncak kisah Julaybib adalah saat ia gugur syahid di medan perang. Ketika perang usai, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menyebutkan nama-nama sahabat lain, tapi tidak menyebut Julaybib. Lalu Nabi bersabda, “Tetapi aku kehilangan Julaybib.” Beliau pun mencarinya dan mendapati tubuh Julaybib terbaring di antara tujuh musuh yang berhasil ia bunuh sebelum syahid. Rasulullah ﷺ mengangkat jasadnya dengan tangan beliau sendiri seraya bersabda:
“Dia telah membunuh tujuh (musuh), lalu mereka membunuhnya.
Dia adalah bagian dariku, dan aku bagian darinya.” (HR. Muslim)
Betapa agung kalimat itu. Ia bukan hanya pujian, tapi pengakuan spiritual tertinggi — bahwa seorang yang tak dikenal di bumi, ternyata dimuliakan di sisi Rasulullah SAW dan di sisi Allah. Saat ia syahid, rasulullah SAW sendiri yang memakamkannya. Mungkin tidak banyak orang yang hadir, tapi kemuliaan sejati tidak diukur dari banyaknya penghormatan manusia, melainkan dari siapa yang memuliakan kita di hadapan Allah.
Kini, ketika saya mendengar sebutan “Yang Mulia” di dunia peradilan — sebutan yang dilekatkan kepada para hakim — saya sering teringat sosok Julaybib. Betapa mudah manusia menempelkan gelar kemuliaan, padahal belum tentu kita layak di sisi Allah. Sebutan “Yang Mulia” seharusnya bukan sekadar formalitas kehormatan, melainkan pengingat moral dan spiritual: bahwa kemuliaan sejati tidak lahir dari toga, jabatan, atau panggilan kehormatan, melainkan dari keikhlasan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Julaybib tidak pernah disapa “Yang Mulia”, tapi Rasulullah SAW sendiri yang mengangkat dan memuliakannya. Sementara kita — yang disapa “Yang Mulia” setiap hari — justru harus terus bertanya dalam hati: Apakah benar kita mulia di hadapan Allah?
Kisah Julaybib adalah cermin bagi siapa pun yang berkuasa, berilmu, atau bergelar tinggi. Dunia mungkin memuliakan karena pangkat, tapi Allah memuliakan karena hati. Dunia menilai dari toga, tapi Allah menilai dari takwa.
Maka, di balik sebutan “Yang Mulia”, semestinya terselip doa dan tekad: agar kita tidak hanya tampak mulia di ruang sidang, tetapi sungguh mulia di hadapan Allah — seperti Julaybib r.a., sang sahabat sederhana yang disapa dengan kasih oleh Rasulullah SAW: “Dia bagian dariku, dan aku bagian darinya.”








