Junaidi Auly: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Pangkas Kewenangan BI dan BPK

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang drafnya diserahkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pimpinan DPR RI, 12 Pebruari lalu berisiko memangkas kewenangan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Omnibus Law atau yang kerap disebut dengan UU ‘sapu jagat’ itu, ungkap legislator Dapil II Provinsi Lampung, H A Junaidi Auly dalam keterangan kepada awak media, Kamis (7/5) membahas berbagai topik dengan maksud mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah UU lain.

Namun, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang disampaikan, tersebut terdapat beberapa pasal yang berdampak terhadap kewenangan BI dan BPK. Junaidi mengkritisi ada upanya pemangkasan kewenangan BI dan BPK. Anggota Komisi XI DPR RI itu mengatakan, pada pasal 85 draf RUU Cipta Kerja tentang perbankan menyebutkan Ketentuan dalam Pasal 22 UU No: 7/1992 tentang Perbankan.

Perubahan tersebut terdapat pada Pasal 22 (1) Bank Umum dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; dan/atau c. badan hukum asing secara kemitraan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.

bila yang dimaksud dalam ayat (2) adalah persyaratan pendirian bank baik izin prinsip maupun izin operasional, perubahan itu membawa implikasi, BI tak lagi berwenang menetapkan persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak yang berhak mendirikan bank umum, karena berpindah seutuhnya kepada OJK. Sebagai perbandingan, setelah berdirinya OJK 2011, proses perizinan pendirian bank baru dilakukan melalui BI terkait dengan operasional bank dan melaui OJK terkait dengan persetujuan prinsip pendirian bank.

Junaidi menuturkan perubahan pasal yang berdampak pada kewenangan BI juga ada pada RUU Cipta Kerja pasal 86. Referensi pasal ini adalah pasal 9 ayat (3) Pasal 22 UU No: 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan pasal 22. Dalam pasal 86 ayat (3) disebutkan ‘Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

”Peran BI dalam menentukan batas maksimum kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing dialihkan kepada peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah. BI telah mengatur secara rinci hal ini melalui PBI No: 14/8/PBI/2012 tentang kepemilikan saham bank umum.

Selain BI, BPK juga menjadi lembaga yang kewenangannya tereduksi dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja. Junaidi mengungkap RUU pasal 153 berbunyi ‘Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan akuntan publik terdaftar pada BPK’ mengamandemen UU No: 15’2006 tentang BPK pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” dan pasal 9 ayat (1) tentang wewenang BPK.

Dikatakan, semangat kemudahan berusaha dan penciptaan lapangan kerja melalui Omnibus Law bukan berarti menghilangkan prinsip tata kelola yang baik serta mengesampingkan fungsi BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan terhindar dari korupsi, kolusi serta nepotisme. “Pemangkasan wewenang BI dan BPK tidak relevan karena berpotensi menimbulkan ketidakberaturan dan kerugian negara,” demikian H A Junaidi Auly MM. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait