Dalam rangka mempertajam dan memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI terkait program kerja tahun 2020, Komite III DPD RI menyelenggarakan rapat bersama jajaran Kementerian tersebut di Lantai 3 Gedung B DPD RI, Kompleks Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu siang (12/02/2020).
Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Komite III DPD RI Bambang Sutrisno tersebut dihadiri oleh seluruh anggota Komite III DPD RI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A. beserta jajarannya.
Di antara pembahasan yang mengemuka adalah terkait akreditasi perguruan tinggi yang menumpuk, padahal harus dilakukan lima tahun sekali dan hanya dilakukan oleh satu lembaga. Dari berbagai syarat akreditasi keberadaan profesor di suatu perguruan tinggi cukup menentukan. Pasalnya, profesor memiliki peranan penting dalam menghasilkan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Bukan sekadar penemuan biasa, namun yang bisa menghasilkan hak paten.
Dari tujuh syarat yang diwajibkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendeikbud) RI No 92 Tahun 2014 pasal 10, ada satu syarat yang cukup memberatkan bagi dosen-dosen setingkat Lektor Kepala untuk mengajukan gelar profesor, yaitu menembus publikasi di jurnal internasional bereputasi seperti Scopus.
Menyoroti hal itu, senator asal Yogyakarta Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., mengusulkan agar definisi mengenai jurnal internasional diperluas, mengingat orientasi belajar masyarakat Indonesia tidak hanya ke Barat yang berbasis bahasa Inggris.
“Saya kira apa yang disampaikan Pak Menteri tentang berpikir merdeka, kampus merdeka, ini luar biasa. Akan tetapi, arahannya jangan hanya urusan berbahasa Inggris. Keharusan untuk menembus jurnal berbahasa Inggris ini ternyata menyulitkan banyak dosen karena orientasinya tidak selalu ke sana. Seharusnya, yang menjadi ukuran adalah jurnal dengan gagasan yang global, berstandar kelimuan tinggi, dan dikelola dengan manajemen yang baik bertaraf internasional.
Jadi ini soal gagasannya, bukan bahasanya,” kata senator yang juga pernah mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Gus Hilmy menambahkan bahwa kita bisa belajar dari Jepang dan Jerman. Kedua negara tersebut maju dalam bidang pendidikan bukan sebab menggunakan bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan tetap lokal, tapi prestasinya setaraf internasional. Kita juga harus bangga dengan bahasa Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Hilmy juga menyampaikan keluhan banyak dosen tentang kum (angka kredit). Kum biasanya diberikan kepada dosen yang menulis, mengomentari, dan menganalisis tentang suatu objek atau pemikiran tokoh tertentu. Sementara bagi tokoh yang tidak dikomentari dan dianalisis, tidak mendapatkan apa-apa. Semestinya, pihak yang menjadi objek juga mendapatkan hal yang sama. Semakin banyak menjadi objek, semakin tinggi angka kreditnya.
Sedikitnya waktu untuk yang tersedia, masukan dari senator yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut akan menjadi bahan rapat internal Kemendikbud. Akan tetapi, Mendikbud Nadim Anwar Makarim berharap perguruan tinggi tidak hanya fokus pada administrasi, melainkan berupaya untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi dan mahasiswanya.