Jakarta — Ketua Umum Paguyuban Loyalis Bapak HM. Soeharto, HM. Jusuf Rizal menyebutkan Partai Politik di Indonesia, tanpa kehadiran figur kuat dan basis pemilih akan sulit bertahan dan berkompetisi ditengah dinamika demokrasi.
Demikian disampaikan pria berdarah Madura-Batak yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) itu kepada media di Markas Komando Loyalis Bapak HM. Soeharto di Pangeran Antasari 20, Jakarta Selatan ketika ditanya masa depan Partai Politik di Indonesia.
Menurut Jusuf Rizal berdasarkan analisa politik saat ini, kehadiran partai politik yang demikian banyak belum cukup kuat memberi ruang demokrasi untuk dipilih rakyat, jika partai politik tersebut tidak memiliki aset figur dan basis pemilih (segmen) yang kuat.
“Kehadiran partai politik lemah figur dan basis pemilih, hanya akan jadi riak-riak demokrasi dan syahwat kelompok, seolah-olah bisa, namun pada kenyataannya pelan-pelan tidak bisa bertahan lama. Sebab pemilih di Indonesia masih banyak yang irrasional,” tegas Jusuf Rizal
Ia kemudian memberi contoh mudah partai politik yang bisa bertahan dengan kekuatan figur. Seperti Partai Demokrat mengandalkan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kemudian Nasdem, figur Suryo Paloh. Gerindra menjual figur Prabowo Subianto. Hanura sebelumnya menjual Wiranto, tapi saat Wiranto keluar, Hanura yang memiliki 18 Kursi di DPR RI, tumbang.
“Artinya banyak partai-partai politik jika ditinggal oleh figur sebagai icon tidak bisa bertahan lama. Apakah setelah SBY, Prabowo dan Suryo Paloh tidak ada, partainya tetap kuat dan solid. Belum tentu, karena pemimpin lapis kedua belum cukup kuat sebagai pemangku tongkat estafet kepemimpinan partai,” tegas Ketum PWMOI (Perkumpulan Wartawan Media dan Online Indonesia) dan Sekjen MOI (Media Online Indonesia) itu.
Kemudian Jusuf Rizal merinci partai politik kuat karena memiliki basis atau segmen pemilih (segmen market politik). Dicontohkan PKS (Partai Kadilan Sejahtera) dan Gelora menggarap basis Islam moderat. PAN (Partai Amanat Nasional) dan Ummat menggarap basis Muhammadiyah. Begitu juga PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) menggarap basis NU (Nahdatul Ulama).
Dikatakan sebelum Reformasi ada tiga partai kuat yaitu Golkar, PPP dan PDI. Masing-masing-masing memiliki basis kuat. Golkar menggarap basis pekerja dan birokrat. PPP garap basis NU, tapi kemudian melorot setelah hadir PKB mengambil basis NU. Kemudian PDI Pimpinan Suryadi dengan basis Soekarnois.
Tapi, setelah Megawati Soekarnoputri mendirikan PDI-P basis Soekarnois dibawa dan menjadikan Soekarno sebagai icon, PDI Pimpinan Suryadi ambruk dan jadi batu nisan. Kekuatan basis Soekarnois membuat PDIP Pimpinan Megawati Soekarno putri bertahan
Hal yang sama juga mulai dilakukan oleh partai pendatang baru Partai Parsindo (Partai Swara Rakyat Indonesia) yang menggarap Loyalis Bapak HM. Soeharto karena dinilai memiliki 20 juta lebih loyalis Bapak HM. Soeharto sebagai basis pemilih, selain segmen market lain, seperti kaum millenial, perempuan, pekerja dan buruh, kelompok nasionalis dan religius.
“Saya rasa kedepan partai politik harus mampu menggarap segmen market pemilih jika ingin bertahan dan kuat, selain figur, program yang dirasakan rakyat, menjadi partai yang berpihak kepada kepentingan masyarakat, adil dan mensejahterakan. Tanpa itu partai politik sulit bertahan,” tutur Jusuf Rizal yang juga Ketum Partai Parsindo (Partai Swara Rakyat Indonesia).
Untuk itu, lanjut Jusuf Rizal menuju Pemilu 2024 rakyat harus menjadi pemilih cerdas dan cermat. Pilih partai politik yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Jangan juga memilih partai politik yang tidak berpotensi memiliki masa depan, karena sayang hak demokrasi rakyat tidak mampu melakukan perubahan nantinya. (red)