K.H. Saifullah Saleh: Sang Guru yang Tak Pernah Lelah Mengabdi

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Alumni PP Mishbahul Ulum 1982)

Jakarta, beritalima.com | Di antara sekian banyak sosok (guru) yang pernah hadir dalam hidup saya, K.H. Saifullah termasuk menempati tempat paling istimewa. Beliau bukan sekadar guru, tetapi pembimbing ruhani, teladan hidup, dan simbol pengabdian tanpa pamrih. Hingga kini, meski waktu telah berlalu dan saya telah menempuh jalan masing-masing, cahaya bimbingan beliau tetap menyala dalam hati saya dan, saya yakin, juga di hati banyak santri lainnya.

Kiai Saifullah adalah pengasuh Pondok Pesantren Misbahul Ulum yang terletak di Jalan Merak, Patokan, Situbondo. Saya berkesempatan menjadi santri beliau selama hampir tiga tahun, tepatnya saat menempuh pendidikan di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Situbondo, 1979-1982. Masa itu adalah salah satu fase terpenting dalam hidup saya, karena di sinilah saya mengenal arti sejati dari perjuangan, keikhlasan, dan pengabdian, sekaligus resmi menjadi santri untuk kali pertama.

Pewaris Tradisi Ulama Besar

Beliau bukan sosok biasa. Kiai Saifullah merupakan santri dari Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo — pesantren besar yang didirikan oleh K.H. Mohammad Hasan, lebih dikenal sebagai Kiai Hasan Sepoh. Sebutan “Sepoh” digunakan untuk membedakan beliau dari putranya, K.H. Hasan Saifurrizal, yang kemudian melanjutkan kepemimpinan pesantren tersebut.

Keistimewaan Genggong tidak lepas dari nasab keilmuan pendirinya. Kiai Hasan Sepoh pernah menimba ilmu langsung di Makkah dan merupakan murid dari Syaikhona K.H. Mohammad Cholil Bangkalan, guru dari para ulama besar tanah Jawa seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, dan K.H. Wahab Hasbullah.

Dan Kiai Saifullah — guru saya — adalah salah satu murid dari K.H. Hasan Saifurrizal, bahkan masih sempat mengalami didikan langsung dari Kiai Hasan Sepoh. Ini menjadikannya bagian dari mata rantai keilmuan yang mulia dan langka, yakni murid generasi kedua dari Syaikhona Cholil, suatu kehormatan yang tentu membaggakan setiap santri.

Sang Orator Ulung

Satu hal yang sangat melekat dari sosok beliau adalah kemampuannya dalam berorasi. Di masa itu, menurut saya, nyaris tak ada yang mampu menyaingi beliau dalam hal pidato — baik di forum pengajian, ceramah umum, hingga kampanye politik. Suaranya menggelegar, isi ceramahnya tajam, dan alur pikirannya runtut.

Beliau bisa berbicara panjang tanpa teks, namun setiap kalimatnya tersusun rapi, penuh makna, dan mampu menggugah pendengarnya. Saat beliau naik mimbar khutbah Jumat, suasananya berubah total. Jika biasanya para jamaah mudah tertidur, maka ketika Kiai Saifullah yang berbicara, tidak ada yang berani memejamkan mata. Bahkan sebelum khutbah dimulai pun, banyak yang sudah menanti-nanti wejangan beliau.

Membangunkan Santri, Membangunkan Jiwa

Yang paling saya kenang — dan mungkin tak akan pernah saya lupakan — adalah suara beliau membangunkan santri saat subuh. Dengan bahasa Madura yang khas, beliau sering berteriak:

Hayo bangun… hayo bangun…

Gema suaranya menyusup ke dalam selimut, menembus rasa kantuk, dan membangunkan tidak hanya tubuh kami — tetapi juga kesadaran kami.

Yang mengherankan, beliau tidak pernah absen saat subuh, meski kami tahu betul bahwa malam sebelumnya beliau baru pulang dari pengajian luar kota. Seringkali beliau baru tiba menjelang dini hari. Lalu kapan beliau beristirahat?

Di situlah kami belajar satu hal penting: pengabdian tidak mengenal waktu. Beliau tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga dengan sepenuh jiwa dan tanggung jawab. Tidak ada gaji tetap, tidak ada fasilitas mewah, tetapi beliau tetap mengajar, mendidik, membimbing — dengan ikhlas, dalam arti yang sesungguhnya.

Amanah Para Wali Santri, Amanah dari Allah

Bagi beliau, para santri bukan hanya tanggung jawab pribadi, melainkan amanah dari para wali santri, bahkan lebih tinggi lagi, amanah dari Allah SWT. Para wali santri telah menitipkan anak-anak mereka dengan penuh harap, dan beliau menyambutnya dengan rasa tanggung jawab yang luar biasa.

Beliau memahami, bahwa setiap santri adalah benih penerus agama. Mereka harus diperlakukan bukan hanya sebagai murid, tetapi sebagai investasi peradaban, sebagai calon ulama dan pemimpin umat. Maka tak heran jika beliau mendidik kami dengan totalitas, tanpa mengharap imbalan materi, karena beliau paham, pahala dari Allah adalah balasan yang paling sempurna.

Refleksi Bagi Kita Semua

Kini, ketika dunia pendidikan kian kompleks dan tantangan moral semakin berat, sosok K.H. Saifullah menjadi cermin bagi kita semua — terutama bagi para pendidik. Beliau menunjukkan bahwa menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan jalan hidup. Mendidik bukan hanya soal transfer ilmu, tapi juga tentang membentuk karakter, menanamkan nilai, dan menumbuhkan semangat hidup dalam diri anak didik.

Dalam konteks ini, pernyataan Menteri Agama bahwa “jika ingin kaya jangan jadi guru, tapi jadilah pedagang” memang benar adanya — dan kiai saya telah mempraktikannya. Beliau tidak mencari kekayaan dari profesinya sebagai pendidik, tetapi benar-benar mengabdi sebagai amanah yang harus ditunaikan.

Namun tentu saja, pernyataan tersebut tidak berlaku bagi murid. Justru sebaliknya, muridlah yang harus menjadi penopang dan pendukung kehidupan para kiai. Dalam konteks pesantren, santri yang sudah dewasa, berhasil, dan mampu secara ekonomi memiliki tanggung jawab moral untuk tetap peduli terhadap kehidupan guru-gurunya — bukan semata membalas jasa, tetapi menjaga keberlangsungan cahaya ilmu.

Sementara dalam konteks guru di sekolah formal, tanggung jawab tersebut seharusnya dipikul oleh negara. Pemerintah wajib memastikan bahwa para guru dapat hidup layak, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki tanggungan keluarga, kebutuhan hidup, dan harga diri yang harus dijaga.

Intinya, kiai atau guru akan tetap ikhlas, karena itu adalah bagian dari panggilan jiwanya. Namun, murid dan pemerintah harus mengerti, bahwa keikhlasan itu tidak boleh disalahgunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka hidup dalam kekurangan. Justru keikhlasan itu seharusnya dibalas dengan penghormatan dan dukungan yang nyata. Az-Zarnuji, dalam Ta’limul Muta’allim pernah mengingatkan “La yanfa’ul ilmu illa bita’dhimil ustadz wal kitab.”

Semoga Allah senantiasa merahmati Kiai Saifullah, menempatkan beliau di sisi-Nya yang mulia, dan menjadikan setiap amal dan ilmu yang beliau wariskan sebagai penerang bagi generasi penerus. Dan semoga kita, para murid dan generasi berikutnya, mampu meneruskan warisan pengabdian beliau — dengan tetap menjaga akhlak, semangat belajar, serta penghormatan terhadap para guru yang telah menerangi jalan kita. Amin Ya Mujibas Sailin.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait