SURABAYA, beritalima.com – Pemerintah Republic Indonesia pada tahun 2017 menargetkan bisa meningkatkan easy of doing business ke peringkat 40, dan pada tahun 2018 bisa naik ke peringkat 30.
Berdasarkan laporan International Finance Corporation (IFC)/World Bank, tahun 2016 ini easy of doing business Indonesia berada di peringkat 91, naik dari sebelumnya di posisi 106. Untuk mencapai target tersebut, beberapa upaya dilakukan pemerintah termasuk memudahkan perizinan dan sistem online.
Dua kota yang dijadikan barometer kemudahan investasi ialah Jakarta dan Surabaya. Sebagai mitra Pemerintah dan wadah bagi dunia usaha, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Surabaya turut membantu dan mendukung untuk meningkatkan kemudahan investasi.
Dr Ir Jamhadi MBA selaku Ketua KADIN Surabaya mengungkapkan, upaya meningkatkan kemudahan investasi di Surabaya bisa dicapai dengan beberapa langkah.
Pertama, Pemerintah harus punya unit kerja khusus untuk mengawal peningkatan peringkat kemudahan investasi menjadi peringkat 40 di tahun 2017 dan peringkat 30 di tahun 2018. Unit kerja khusus itu berada di bawah koordinasi BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Indonesia atau BKPM Jawa Timur atau BKPPM Surabaya.
Kedua, pemerintah bisa bekerjasama dengan notaris karena legalisasi perizinan melibatkan peran notaris. Ketiga ialah reformasi perpajakan. Menurut Jamhadi, reformasi perpajakan sangat penting utamanya pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPh).
“Proses perizinan cepat tapi biaya pajak mahal. Itu yang memberatkan pengusaha. Ada baiknya perpajakan seperti retribusi pajak bumi dan bangunan (PBB) dikurangi. Untuk bisa mengurangi retribusi perpajakan, maka Pemkot Surabaya harus membuat Peraturan Daerah (Perda),” kata Jamhadi.
“Kalau Perda terasa lama bisa membuat Peraturan Walikota (Perwali). Memang akan berdampak terhadap penurunan pendapatan asli daerah (PAD), tapi sangat baik terhadap iklim investasi,” lanjutnya.
Jamhadi juga memberikan saran agar calon investor yang hendak masuk ke Surabaya atau Jawa Timur tidak mengharuskan membeli lahan, tetapi bisa sistem sewa lahan. Sistem ini telah diterapkan di Vietnam.
“Jadi kalau ingin investasi investor sudah ada lahan, baik dibeli sendiri atau sistem sewa. Harusnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang punya lahan itu, sehingga sewa lahannya bisa masuk ke negara,” kata Jamhadi sebagai CEO Tata Bumi Raya Group ini.
Terakhir, Jamhadi mengapresiasi implementasi dari Surabaya Single Window (SSW). Namun, dia mengingatkan bahwa penerapan SSW di lapangan sangat sulut.
“Untuk mengatasinya, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/Kelurahan (LKMD/K) diberikan bekal dimana daerah yang dibuat untuk investasi. Ada pula informasi investaso yang ditempel di kelurahan atau kantor desa agar warga sekitar tahu bahwa di wilayah itu akan ada investasi masuk,” pungkasnya. (Ganefo)