Kaleidoskop Komnas PT 2025: Kurangi Prevalensi Merokok di Mal

  • Whatsapp

Jakarta | beritalima.com – Suatu keberhasilan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengurangi prevalensi merokok di Mal. Semenjak 26 tahun yang lalu Komnas PT dibentuk cukup banyak kemajuan secara keseluruhan. Mengingat 25 tahun yang lalu masih banyak orang merokok di mal.

Demikian hal itu ditandaskan Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH Ketua Umum Komnas PT saat pembukaan sebelum membuka kegiatan Kaleidoskop Pengendalian Tembakau 2025, di Griya Arifin Panigoro, Jalan Jenggala 1 No.2, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (22/12/2025).

Refleksi akhir tahun 2025 yang diinisiasi Komnas PT yang menjadi kegiatan bersama Save Our Surroundings di dalamnya ada banyak organisasi yang berafiliasi dengan kesehatan termasuk IYCTC, di saat negara memilih berpihak pada oligarki. Kegiatan ini mengambil tema Kebijakan Prabowo Subianto Lebih Berpihak ke Industri Dibandingkan Pengendalian Tembakau dan Isu Kesehatan.

“Meskipun rakyat paling banyak jumlahnya yang tiap hari berhadapan dengan risiko asap rokok. Yang mungkin panennya, quote-unquote, panennya.
Risiko rokok ini, teman-teman klinis seperti Dr. Bobi pasti menyaksikan proses hari demi hari makin banyak orang-orang yang mengalami masalah kesehatan jantungnya,” ujar Prof. Hasbullah Thabrany.

Dr. Anissa ahli paru-paru pun pasti lebih banyak menyaksikan kasus demi kasus. Begitu juga ahli penyakit dalam yang lain tentu hari demi hari melihat pertemuan tapi tidak bisa hal itu terlihat dengan nyata oleh kebanyakan masyarakat dan sayangnya juga kebanyakan pejabat.

“Ini adalah tantangan kita yang luar biasa berat meskipun konsep dasar kebijakan publik adalah mengutamakan publik. Publik adalah seluruh rakyat tapi dalam faktanya sering kita mendengar argumen-argumen pejabat. Bahwa ada sekian banyak, 6 juta, 7 juta orang yang berada pada area yang kira-kira bergantung kepada industri rokok,” tandasnya.

Ironisnya dikatakan Thabrany, pejabat lupa bahwa 7 juta itu hanya seperberapanya dari 280 juta orang yang tiap hari bisa terpaksa suka atau tidak suka, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, mengerti atau tidak mengerti, menghirup racun-racun yang menyebabkan orang terpapar dengan resiko kesehatan yang akan terjadi di hari kemudian dengan bukan hanya urusan kesehatan tetapi juga urusan ekonomi.

“Kalau sudah kecanduan, maka tiap hari harga mahal sekalipun dibeli juga. Sayangnya pejabat kita sering menilai cukai rokok adalah kontribusi industri. Padahal cukai rokok adalah uang denda dari rakyat yang perilaku hidupnya tidak sehat. Dan mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengandalkan sebagian pendapatannya dari uang denda,” terangnya.

Ini sebuah fenomena yang sangat-sangat aneh tapi itulah fakta, Ia pun berharap pada akhir tahun ini untuk melihat ke belakang, melihat kaca spion, apa yang belum berhasil, apa yang sudah berhasil, dan yang belum berhasil menjadi PR untuk tahun 2026.

“Kita harus sadar, tantangan memang begitu besar, tetapi Tuhan lebih besar, Allah lebih besar. Suatu ketika insya Allah kita sampai, perlu sabar. Dan tentu saja sabar itu perlu mendapatkan juga pemahaman yang cukup bagus untuk menilai apa sebetulnya yang menjadi ujian buat kita,” sambungnya.

Salah satu komponen penting dari pengendalian konsumsi rokok adalah bahaya rokok. Lebih lanjut ditegaskan Tulus Abadi, salah seorang Pengurus Komite Nasional Pengendalian Tembakau, mandeknya implementasi regulasi pengendalian tembakau merupakan bentuk kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya.

“Jangan mimpi Pemerintah bicara soal generasi emas kalau dari hilirnya saja belum diatur dengan baik. Kita sudah lihat bencana ekologis yang terjadi di Sumatra karena ruang gerak yang diberikan kepada industri destruktif, kalau industri rokok ini juga terus diberikan panggung, maka bencana selanjutnya adalah bencana demografi,” ujar Tulus.

Jurnalis : Dedy Mulyadi

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait