Pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS, gejala rasisme, Islamofobia dan xenofobia meningkat di berbagai daerah di AS. Pernyataan Trump dalam kampanyenya terhadap kaum minoritas dan imigran diduga sebagai penyebab meluasnya diskriminasi dan kejahatan rasial di AS.
Terdapat serangan terhadap mahasiswi muslim di berbagai lokasi di AS seperti New York, San Diego State University dan San Jose University. Mereka diserang, dilecehkan dan dipaksa untuk melepaskan hijab, bahkan sampai ada yang diancam dibakar jika tidak melepaskan hijab. Para penyerang melontarkan komentar terkait Trump dan Muslim.
Selain itu juga muncul graffiti bernuansa rasis dan teror di seantero AS seperti graffiti bertuliskan “Trump” di depan pintu mushalla yang telah dirusak di New York University. Graffiti berbunyi “hanya untuk kulit putih”, “Amerika kulit putih”, “Trump” dan “Go back to Africa” di Minnesota High School. Graffiti rasisme di Durham, North Carolina yang menyatakan “Nyawa orang kulit hitam tidak penting, begitu juga suara kalian”.
Insiden teror dan rasisme terhadap minoritas ini memicu reaksi keras dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI, Adhe Nuansa Wibisono.
“KAMMI mengutuk keras kejahatan rasial dan diskriminatif yang saat ini terjadi di AS pasca kemenangan Trump di pemilu presiden. Gelombang kekerasan ini menunjukkan gejala rasisme dan Islamofobia yang gawat di AS,” kata Wibisono, Jumat (18/11) di Jakarta.
Wibisono menilai, pernyataan Presiden AS terpilih, Donald Trump, yang rasialis dan diskriminatif selama kampanye menjadi pemicu bagi meningkatnya tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas di AS.
“Ini menjadi bukti bahwa perkataan Trump yang rasis dan diskriminatif menjadi pemicu kekerasan yang dilakukan oleh pendukungnya. Saat kampanye Trump pernah mengatakan ‘Islam memicu kebencian terhadap America’, ‘Orang Mexico sebagai kriminal dan pemerkosa’, dan ‘Kembalilah ke Afrika’. Komentar Trump ini kemudian diwujudkan oleh pendukungnya menjadi kekerasan rasial yang nyata,” tegas Wibisono.
Gejala rasisme itu terlihat dari meningkatnya tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas selama beberapa tahun terakhir. Data yang diriilis FBI menyebutkan kekerasan rasial terhadap minoritas meningkat 6,7 persen dari tahun 2014 ke 2015. Pada 2014 terjadi 5.479 kasus kejahatan rasial dan meningkat tajam menjadi 5.860 kasus pada 2015.
Sementara itu The Southern Poverty Law Center, lembaga bantuan hukum untuk kaum minoritas, menyatakan telah terjadi sekitar 300 kasus penyerangan, pelecehan atau intimidasi terhadap minoritas di AS sejak hari pemilihan umum.
Merespon kondisi sosial yang tidak stabil, faktor keamanan dan keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di AS juga menjadi perhatian KAMMI, “Meningkatnya serangan terhadap minoritas dan juga gejolak demo anti-Trump yang meluas juga akan berdampak pada keselamatan WNI,” ungkap Wibisono.
“Oleh karena itu, KAMMI menghimbau kepada pemerintah Indonesia, khususnya kepada Kemenlu, KBRI dan KJRI, agar dapat memberikan perlindungan terhadap WNI yang berada di AS. Jangan sampai WNI kita menjadi korban dari kejahatan rasial yang tidak terkendali ini,” tandasnya.