Jakarta, beritalima.com| – Tragedi hilangnya Alvaro Kiano (6) berujung ditemukannya sang bocah dalam keadaan tinggal kerangka di Tenjo, Kabupaten Bogor (Jawa Barat), menjadi pukulan keras bagi nurani publik, Ketua DPR RI Puan Maharani bahkan sempat mengatakan negara turut bertanggungjawab atas musibah ini.
Ia menuturkan, negara tak boleh lagi berdiam diri menghadapi lingkaran kekerasan terhadap anak yang terus berulang. Berbicara usai Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen (25/11), Puan menyebut kasus ini sebagai “situasi darurat” membutuhkan penanganan terpadu lintas lembaga.
“Kami sangat prihatin dan turut berbelasungkawa. Tentu saja, ini sudah merupakan situasi darurat yang memang harus ditanggapi secara saksama,” ujar Puan, yang menggarisbawahi tragedi ini bukan persoalan keluarga semata, melainkan kegagalan sistem yang seharusnya melindungi anak-anak Indonesia.
“Karena hal-hal seperti ini bukan hanya merupakan tanggung jawab keluarga, atau sekolah, tetapi juga tanggung jawab negara. Karenanya kami meminta kepada seluruh stakeholder terkait untuk menindaklanjuti hal ini secara serius,” tegasnya.
DPR, ucap Puan, akan mengerahkan komisi terkait untuk memanggil pihak-pihak berwenang, mengevaluasi mekanisme perlindungan anak, dan memastikan ada langkah konkret yang dapat mencegah tragedi serupa terjadi lagi. “Kami akan meminta komisi terkait untuk melakukan langkah komprehensif dan evaluasi menyeluruh. Jangan sampai hal seperti ini terulang,” tambahnya.
Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa turut menyuarakan kegelisahan atas maraknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap anak yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ia meminta pemerintah, aparat hukum, dan lembaga perlindungan anak bergerak lebih cepat dan lebih terkoordinasi.
“Komisi III akan kami minta untuk mendorong percepatan penanganan, dan KPAI harus berkolaborasi dengan kepolisian untuk menangani berbagai kasus penculikan terhadap anak,” terangr Saan.
Kasus Alvaro kembali membuka luka lama: lemahnya deteksi dini, gagalnya sistem perlindungan anak, serta buruknya koordinasi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Pertanyaannya—berapa banyak lagi korban sebelum negara benar-benar hadir?
Jurnalis: rendy/abri








