SURABAYA, beritalima.com | Ikhtiar HA, pemilik Ponpes Mahasiswa Roudlotul Banin wal Banat Al Masykuriyah, untuk mempertahankan Ponpesnya yang ingin direbut oleh Andreas, kini tinggal menanti putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Siding gugatan perdata yang berlangsung sejak Juli 2022 tersebut, dilalui oleh HA yang kini berusia 59 tahun, penuh perjuangan.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Kuasa Hukumnya, Lia Istifhama, yang dalam proses persidangan, bersama rekan-rekan advokatnya di bawah naungan Hadi Mulyo Utomo.
“Ikhtiar telah kami lakukan, bahkan bersurat kepada orang nomer 1 Indonesia, selain Kapolri, dan sebagainya. dan karena perkara ini melibatkan salah satu notaris dari Sidoarjo, maka kami pun bersurat pada Kemennkum HAM, dan Majelis Pengawas Notaris Daerah Jatim serta Sidoarjo. Kemudian selain notaris, perkara ini melibatkan oknum salah satu Bank BUMN, maka kementerian BUMN juga kami surati, termasuk Bank terkait. Disini goal atau tujuan kami sangat jelas, bahwa untuk spirit Pak Jokowi untuk ‘Lawan Mafia Tanah’, harus didukung semua pihak.”
“Mengapa banyak pihak kami surati selama ini? Hal ini tak lain disebabkan kejahatan mafia tanah atau kejahatan kerah putih, melibatkan banyak pihak, sehingga mengatasi kejahatan mafia tanah tentu bukan hal yang mudah.”
Secara detail, aktivis perempuan yang pernah meraih penghargaan sebagai 22 Tokoh Muda NU Inspiratif versi Forum Jurnalis Nahdliyyin tersebut, membeberkan duduk persoalan.
“Awal mula kisah, bahwa suami dari HA, yaitu MH, yang merupakan pemilik dan pengasuh PP Roudlotul Banin wal Banat, bermaksud mengajukan pinjaman dana untuk usaha yang hasilnya diperuntukkan sebagai dana pembangunan gedung ponpes baru. Salah satu junior beliau, yaitu Subhan, menawarkan diri untuk mencarikan pemodal. Lantas Subhan inilah yang mengenalkan Andreas sebagai pemodal. Saat itu, HA dan MH, menyampaikan bahwa pinjaman yang dibutuhkan 1 miliar. Dan Andreas menyetujui dengan syarat jaminan adalah bangunan ponpes.”
Ditambahkan olehnya, bahwa Andreas kemudian mengajak HA selaku pemilik sertifikat bangunan ponpes, untuk menandatangani perjanjian utang piutang di depan notaris asal Sidoarjo.
“HA dan MH mengetahui bahwa perjanjian tersebut merupakan utang piutang, sesuai yang disampaikan oleh notaris secara lisan saat mereka menandatangani akta perjanjian. Saat notaris menyampaikan: ‘Ini pinjaman 1 tahun sebesar 1 milyar’. HA dan MH pun mengiyakan. Namun kenyataan, perjanjian tersebut merupakan jual beli.”
“Modus inilah yang umum terjadi dan menjerat masyarakat sebagai korban, seperti yang dialami HA dan MH. Mereka bermaksud mengajukan pinjaman, namun kemudian tanpa mereka ketahui, ternyata perjanjian yang sudah ditandatangani adalah jual beli. Dan tentunya modus seperti ini hanya akan berhasil jika niat jahat seseorang didukung banyak pihak. Dalam hal ini, tanda tangan perjanjian melalui siapa, bank pencairan bank mana, itu sudah disiapkan betul,” tambahnya.
Hal itulah yang kemudian menjadi alasan pihaknya bersurat kepada Menteri BUMN.
“Kebetulan, bank pencairan dana dalam perkara tersebut adalah salah satu Bank terbesar di Indonesia, dan dibawah naungan BUMN. Jadi kronologinya, Subhan pernah meminjam KTP MH terkait rencana peminjaman modal tersebut. Ternyata, KTP inilah yang kemudian dijadikan sarana bagi Subhan untuk membuka rekening bersama atas nama Prayogi dan MH. Namun karena MH tidak mengetahui terkait rekening tersebut, maka MH pun tidak pernah mendatangani bank tersebut, termasuk tidak menandatangani form pembukaan rekening.”
“Rekening tersebutlah yang kemudian menjadi tempat Andreas mengirimkan dana yang disebutnya dalam gugatan, nominal pembelian tanah bangunan. Anehnya, sesaat setelah Andreas mengirimkan dana, uang dalam hitungan hari sudah habis diambil sepihak oleh Prayogi. beberapa bulan kemudian, barulah MH dan AH menyadari bahwa ternyata ada dana masuk ke sebuah rekening tersebut, dan dana itu dari Andreas kemudian dihabiskan oleh Prayogi.”
Advokat yang rutin menulis opini di media online tersebut, menambahkan bahwa setelah menyadari adanya pemindahan dana tersebut, barulah AH dan MH beberapa bulan kemudian, berhasil mendapatkan Salinan akta yang ternyata berbunyi Perjanjian Ikatan Jual Beli dan Kuasa untuk Menjual. Fakta itulah yang menjadi dasar AH dan MH melaporkan pada Polda Jawa Timur, namun selang beberapa tahun kemudian, tepatnya 7 tahun setelah kejadian, justru AH digugat di PN Surabaya oleh Andreas. Sedangkan MH telah wafat pada 2020 lalu.
“Kisah seperti ini kami yakin banyak terjadi pada masyarakat, dan tentunya banyak yang kemudian terhenti langkah perjuangan karena mencari keadilan memang tidak mudah. Namun kami yakin dan optimis, putusan sidang pada 26 Januari 2022 besok, akan menjadi potret terwujudnya ‘Justitiae non est neganda, non differenda’, bahwa keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.”