JAKARTA, beritalima.com- Penahanan lalu proses pengadilan atas wartawan liputanpersada.com, Moh Sadli Saleh (33), yang dipenjara karena mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah (Buteng), Samahuddin, patut direspon serius sebagai suatu ancaman bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Menurut Sekjen Pena 98, Adian Napitupulu, pers adalah salah satu pilar demokrasi. Berkembangnya demokrasi suatu bangsa, ada peran strategis pers di dalamnya, sebagai penyampai pesan luas bagi publik, dan mempertinggi kebudayaan berdemokrasi dan berpikir kritis rakyat.
“Tidaklah tepat, bila ada keberatan atas isi suatu karya jurnalistik, pihak keberatan, Bupati Buton Tengah, langsung melaporkan pidana ke polisi memakai UU ITE. Sepanjang isinya memenuhi prinsip jurnalistik, mestinya sesuai UU Pers, pihak berkeberatan bisa tempuh mekanisme berjenjang, dengan membuat hak jawab, hak koreksi, atau lapor ke dewan pers yang berhak menilai suatu karya jurnalistik. Atau tempuh proses perdata. Bila dalam kasus Sadli proses itu tidak ditempuh lebih dahulu, ini bentuk kriminalisasi jurnalis. Kami mengecamnya,” tegas Adian, yang juga anggota DPRI dari PDIP, dalam release, Senin 10 Pebruari 2020.
Polisi sebagai penerima laporan, lanjutnya, mestinya menganjurkan pada pelapor untuk lebih dulu menempuh proses sesuai UU Pers saat menerima laporan pengaduan, sebelum memproses lebih jauh.
“Kapolri dan semua Kapolda mestinya aktif mensosialisasikan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kapolri dan Dewan Pers ke jajarannya, terkait tahapan penyelesaian sengketa Pers,” tandasnya.
Adian juga mengecam keras tindakan pemecatan sepihak pada istri Sadli Saleh, Siti Marfuah, yang bekerja sebagai staf honorer sejak tahun 2015 di Sekwan DPRD Buton Tengah, hanya karena dikaitkan dengan profesi suaminya.
“Tak ada kaitannya tindakan wartawan Sadli dengan pekerjaan istrinya. Ini tindakan tak manusiawi. Apalagi anaknya masih bayi. Kementerian dan lembaga masyarakat sipil terkait mesti sikapi serius ini,” tuturnya. (Red).