SURABAYA, beritalima.com|
Perdagangan manusia atau human trafficking merupakan salah satu kasus kejahatan transnasional. Umumnya, kejahatan tersebut berupa penyelundupan manusia menggunakan kekerasan, penipuan, bahkan paksaan dengan mengendalikan korban untuk tujuan komersialisasi seks atau meminta tenaga kerja secara ilegal.
Oleh karena itu, setiap tanggal 30 Juli seluruh dunia memperingati Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya kejahatan tersebut.
Pada FISIP statemen kali ini, Dr Sri Endah Kinasih SSos MSi dosen Antropologi FISIP Unair membagikan pandangannya mengenai kasus perdagangan manusia yang tergolong cukup tinggi di Indonesia.
Awal Mula Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia sudah berlangsung lama sejak abad ke-15 hingga ke-19 yang dikenal dengan perdagangan budak trans-Atlantik karena berlangsung di sepanjang Samudera Atlantik. Proses migrasi para pekerja perkebunan dari Afrika Barat ke Amerika merupakan benih lahirnya perdagangan manusia.
“Jadi kalau dihubungkan dengan human trafficking saat ini, ya memang sejak adanya proses migrasi itu, human trafficking berlangsung,” ungkap Endah.
Penyebab Perdagangan Manusia
Kejahatan perdagangan manusia dapat menyerang siapa saja, terutama anak-anak dan perempuan. Hal ini disebabkan budaya patriarki yang memposisikan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok paling rentan, tidak berdaya, dan lemah baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, mayoritas perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi perdagangan manusia adalah kemiskinan, minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, serta lemahnya penegakan hukum.
Menekan Laju Perdagangan Manusia
Di Indonesia terdapat beberapa undang-undang yang mengatur perdagangan manusia yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Endah mengungkapkan, pemerintah seharusnya menerapkan ketiga undang-undang tersebut dengan tegas.
Selain peran dari pemerintah, sebagai seorang akademisi juga sepatutnya mampu berperan untuk menekan laju perdagangan manusia.
“Memberikan empati serta pelindungan perempuan dan anak-anak sebagai bentuk salah satu bentuk pelindungan Hak Asasi Manusia. Korban human trafficking merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena mereka sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim, dan dijual kembali,” jelas Endah. (Yul)