SURABAYA – Majelis hakim yang diketuai Rochmad heran dengan baru terbitnya Hak Pengelolaan (HPL) tanah Pasar Turi yang diajukan Pemkot Surabaya. Padahal perjanjian kerjasama antara Pemkot Surabaya dengan PT Gala Bumi Perkasa (GBP) sudah dilakukan sejak 2010 dan bangunan Pasar Turi rampung pada 2014.
Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darwis hanya menghadirkan satu saksi yaitu Agus Sunaryo, Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan (Kasi PMPP) BPN Surabaya II. Kepada majelis hakim yang diketuai Rochmad, Agus Sunaryo mengaku hanya membawa berkas HPL tanah Pasar Turi pada sidang ini.
Dalam keterangannya, Agus Sunaryo menyebut tidak memahami detail kasus Pasar Turi. “Saya mulai bekerja di BPN Surabaya II pada 2 Juni 2017. Permasalahan ini saya baru tahu tadi pagi. Pada sidang ini saya hanya bawa berkas HPL tanah Pasar Turi saja,” terangnya pada sidang kasus Pasar Turi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (11/4/2018).
Ia mengungkapkan, HPL tanah Pasar Turi bernomor 0001 telah terbit sejak 7 Maret 2017 lalu. “Pemegang HPL Pemerintah Kota Surabaya. HPL tanah Pasar Turi diterbitkan berdasarkan keputusan Kementerian Agraria, yang diajukan ke BPN Surabaya II,” beber Agus Sunaryo.
Melihat ada kejanggalan dalam terbitnya HPL tanah Pasar Turi, lantas hakim Rochmad mencecar Agus Sunaryo dengan beberapa pertanyaan. “Terus kapan HPL itu diajukan permohonannya kok baru saja terbit?” tanya hakim Rochmad kepada Agus.
Atas pertanyaan tersebut, Agus mengaku tidak mengetahui kapan pemohonan HPL tersebut diajukan oleh Pemkot Surabaya. “Permohonan diajukan tanggal berapa saya tidak mengetahui, di surat HPL juga tidak disebutkan kapan permohonan diajukan,” kata Agus Sunaryo menjawab pertanyaan hakim Rochmad.
Kepada Agus Sunaryo, Hakim Rochmad menjelaskan alasan dirinya melontarkan pertanyaan perihal kapan permohonan HPL tersebut diajukan. “Begini kan bangunan Pasar Turi sudah selesai sejak 2014, tapi kenapa kok HPL-nya baru terbit pada 2017. Apa sih kendalanya? Kok kesannya (penerbitan HPL) berlarut-larut,” tegas hakim Rochmad.
Tak cukup sampai di situ, hakim Rochmad juga melontarkan pertanyaan soal perjanjian Pasar Turi. Menurut Agus Sunaryo, boleh saja diperjanjikan sebelum HPL terbit. “Boleh saja diperjanjikan, tapi sebaiknya setelah HPL terbit dulu karena HPL ini sebagai bukti,” katanya.
Sementara itu usai sidang, Agus Dwi Warsono, kuasa hukum Henry J Gunawan menilai, sidang kasus Pasar Turi semakin terang benderang dengan adanya keterangan saksi Agus dari BPN. “Pada sidang kali ini justru semakin terang benderang setelah terungkap di persidangan bahwa telat terbit sertifikat HPL Pasar Turi tanggal 17 Maret 2017,” terangnya.
Ia menjelaskan, di dalam sertifikat HPL terdapat diktum-diktum yang menjadi dasar Kementerian Agraria memutuskan menerbitkan HPL. “Bunyi diktum 6 telah sesaui dengan isi perjanjian kerjasama antara Pemkot Surabaya dengan PT GBP, intinya mengatur mengenai kepada bagian-bagian HPL akan diberikan persetujuan untuk diterbitkan HGB (Hak Guna Bangunan) kepada PT GBP,” tegasnya.
Atas dasar tersebut Agus menyebut bahwa tidak ada peristiwa pidana pada kasus Pasar Turi. “Jadi peristiwa pidananya saja tidak ada. Jika didakwa melakukan penipuan dengan dasar Pak Henry tidak memiliki alas hak untuk memperjanjian kepada pedagang, pertanyaanya ada tidak alas haknya? Ada kan,” jelasnya.
Saat ditanya perihal pernyataan hakim Rochmad yang menilai penerbitan HPL terkesan berlarut-larut, Agus menyebut hal itu wajar. Selain itu menurut Agus, kewajiban memberikan persetujuan HGB di atas HPL kepada PT GBP merupakan kewajiban Pemkot Surabaya yang tertuang dalam perjanjian Pasar Turi. “Wajar saja, karena perjanjian Pemkot Surabaya dengan PT GBP terkait Pasar Turi sejak 2010. Perjanjian dilakukan 2010 dan HPL terbit 2017, sudah 7 tahun lho baru kewajiban itu dipenuhi oleh Pemkot Surabaya. Kewajiban Pemkot selanjutnya memberikan persetujuan HGB di atas HPL. Kalau semua kewajiban dilakukan semua oleh Pemkot, yang diuntungkan ya para pedagang,” pungkas Agus. (Han)