(Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.)
Baru sekarang oh aku rasakan
Tak punya suami
rasanya kesepian…
Kalimat-kalimat tersebut adalah salah satu bait lagu ‘Janda’ versi lain dari lagu ‘Duda’ karya Mas’ud Sidik yang pernah popular lebih sepuluh tahun yang lalu. Seperti yang pernah penulis kemukakan di Radar Jember (08/05/2009), bahwa angka perceraian di Jember dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan jumlah angka perceraian tersebut ternyata tidak saja terjadi di wilayah hukum Pengadilan Agama Jember. Di Pangadilan-pengadilan Agama di Indonesia pada umumnya secara kuantitatif juga mengalami kecenderungan yang sama. Salah satu akibat perceraian disamping munculnya duda-duda baru juga menambah angka para janda. Dari segi akibat, bagi mantan suami selepas cerai memang relative lebih aman. Bagi kaum lelaki menjadi duda biasanya identik dengan kemerdekaan. Tidak demikian bagi bagi janda. Sejumlah problem baik secara sosial maupun personal siap menghadang. Secara sosial, misalnya seorang janda harus siap menghadapi problem merawat dan membesarkan anak-anak yang kebetulan masih kecil-kecil yang biasanya mengikuti ibunya. Secara personal, misalnya dia harus siap menghadapi sorotan masyarakat seputar sepak terjang sebagai seorang janda. Apalagi masih muda.
Salah satu masalah personal yang tidak banyak diketahui orang adalah ketika janda tersebut mau menikah lagi atau dinikahi orang lain. Problem personal ini timbul ketika dia bersentuhan dengan hukum. Salah satu hal penting yang sering dilupakan masyarakat adalah adanya waktu tunggu.
Waktu tunggu adalah masa di mana seorang janda tidak boleh melangsungkan perkawinan setelah setelah perkawinan putus. Menurut ketentuan Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974, putusnya perkawinan disebabkan 3 hal, yaitu : karena kematian, perceraian, dan keputusan Pengadilan. Waktu tunggu ini dalam fikih munakahat disebut iddah. Secara yuridis, ketentuan mengenai hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pasal 39 Peraturan Pemerintah tersebut memberikan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh ) hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Ketentuan mengenai waktu tunggu itulah yang tampaknya kurang dipahami masyarakat. Akibat ketidak tahuan tersebut, sudah barang tentu bisa berakibat fatal. Sebagai contoh, seorang wanita telah bercerai dari suaminya. Sebagai bukti perceraian dia telah menerima akte carai. Apabila wanita tersebut menerima saja dinikahi pria tanpa memperhatikan waktu tunggu yang harus dijalani tentu akan berbahaya. Lebih berbahaya lagi ketika perkawinan tersebut dilakukan dengan tanpa dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Di sinilah awal mula ‘malapetaka’ sebuah generasi terjadi. Bayangkan jika seorang hanya menikah nikah sirri. Sepasang laki-laki perempuan menghadap ‘juru nikah’ ( ustadz, kiai, dsb). Mereka minta dinikahkan dengan tanpa memberitahukan statusnya masing-masing, termasuk apakah dia baru bercerai atau baru ditinggal mati suaminya, atau sedang hamil muda ( yang biasanya orang-orang sekitar tidak tahu bahwa ia hamil ).
Dengan prasangka baik, biasanya si juru nikahpun menikahkan pasangan suami istri tersebut. Pasangan tersebut dinikahkan tanpa menanyakan lebih dahulu mengenai kejelasan status calon mempelai wanita. Apa yang terjadi? Ternyata wanita tersebut berstatus masih sebagai istri orang. Atau sudah janda tetapi belum habis menjalani waktu tunggu ( masa iddah ) nya seperti ditentukan oleh Pasal 39 tersebut. Pasangan suami istri yang melakukan perkawinan dengan cara itu telah malakukan minimal 2 kesalahan sekaligus. Kesalahan pertama mereka melakukan pernikahan tidak di hadapan PPN. Dalam hal ini, paling tidak, melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 , yaitu melakukan perkawinan tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Padahal, bagi orang Islam, PPN-lah yang diberi kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan perkawinan termasuk penyelenggaraan administrasi perkawinan. Kesalahan kedua, mereka telah melanggar ketentuan Pasal 8 huruf (f) Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 1974, yaitu larangan melakukan perkawinan antar dua orang ( laki-laki perempuan ) yang mempunyai hubungan hukum yang oleh agamanya dilarang kawin. Bagi orang Islam hubungan hukum dimaksud adalah sebagaiamana telah ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40, yaitu melakukan perkawinan dengan wanita yang masih terikat suatu perkawinan pria lain (Pasal 40 huruf a ) dan melakukan pernikahan dengan wanita yang masih berada dalam masa iddah ( waktu tunggu ) dengan pria lain ( Pasal 40 huruf b ). Konsekuensi hukum dari pelanggaran perkawinan tersebut, antara lain adalah sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam perkawinan tersebut dapat dibatalkan di Pengadilan Agama. Perkawinan seperti itu menurut hukum harus dibatalkan. Letak persoalannya adalah bagaimana jika pasangan suami istri tersebut tidak menyadari kesalahannya dan tidak seorangpun yang peduli untuk mengajukan pembatalan nikah ke Pengadilan Agama. Dan, pasangan tersebut berlanjut sampai beranak pinak. Inilah letak bahaya siriusnya. Bahaya itu adalah lahirnya keturunan atau generasi yang muncul dari perkawinan yang bermasalah.
Sekelumit persoalan tersebut tentu mengingatkan kita tentang pentingnya memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai seluk beluk perkawinan. Penyuluhan hukum atau apa pun namanya tentu sangat berguna bagi maksud tersebut. Tetapi, pertanyaannya adalah siapa yang berkompeten melakukan semua itu?. Secara formal instansi yang mempunyai tupoksi bidang itu tentu dapat mengambil langkah seperlunya sesegera mungkin. Secara informal para tokoh agama juga tidak boleh dikesampingkan perannya. Tentu kita sepakat, semua itu perlu segera ditempuh sebelum bangsa ini terlalu banyak melahirkan generasi yang bermasalah akibat terlahir dari perkawinan yang bermasalah.
BIODATA PENULIS
Nama : Asmu’i Syarkowi
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
Pendidikan : S-1 IAIN Yogyakarta, 1988.
S-2 Universitas Muslim Indonesia Makassar, 2001
Pekerjaan : Mantan Ketua Pengadilan Agama Waingapu NTT
Sekarang : Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA.
Alamat E-Mail : asmui.15@gmail.com
Alamat tinggal : Dusun Pandan, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.