(Justice rechtstaat consept in Indonesia)
By Tri Tejo N
JOHN RAWLS theory, “a theory of justice”, Harvard University Press, Cambridge, Massachuset, 1995, h.751. Epilog semangat dari penulisan buku yang tebal, tetapi sangat inspiratif, sehingga memberi motivasi pembaca, bergairah berbuat untuk sebuah keadilan.
“Jika tidak bertindak adil, lebih baik mati”, kalimat dengan pemikiran ekstrim. Membuat pertanyaan apa arti pentingnya sebuah keadilan? Paradok pertanyaan, jika tidak berbuat adil (injustice) apa yang akan terjadi bagi kehidupan?
Sangat relevan dengan Indonesia, memasuki abad 21, disebut penulis masuk era keadilan. Tragedi mencengangkan di kehidupan masyarakat bawah, konon sebagai orang yang awam hukum. Pembakaran manusia yang dituduh mencuri amplifier di mushola. Berakar dari kebencian, keberingasan yang berlebihan kepada sebuah kata “pencuri”. Kata “pencuri” dilawan dengan kata dalam hukum disebut “eigenrichting” (Belanda), berarti bertindak main hakim sendiri. Tanpa sebuah proses hukum manusia menghakimi manusia lain-nya. Barbar theory, ibarat manusia ditengah hutan belantara, tanpa peraturan (substansi rules) , pranata hukum (struktural), dan kebudayaan (cultural).
Keadilan
Tangisan seorang isteri yang sedang mengandung, suami terbunuh masa, minta sebuah kata “keadilan”? Dengan kalimat, “Suami saya, tukang servis elektronik, mampir sebentar ibadah sholat sambil membawa amplifier, kenapa di dibunuh dan dibakar”. Tragedi kemanusian yang mengenaskan. Meminta jawaban kita, Indonesia sebagai negara hukum, dimanakah hukum dan keadilan. Miris dan mengiris rasa kemanusian kita yang paling dalam. Ternyata suaminya yang terbunuh terbakar, disangka pencuri. Keberingasan, kebencian, mengabaikan hukum dan keadilan.
Tidak ada kata lain dalam pembelaan hukum korban, penegak hukum harus bertintak tegas. Hukum harus ditegakan. Tidak seperti Zelnick dan Nonnet theory, “hukum tajam kebawah, tetapi tumpul keatas”. Yang berwajib, Kepolisian sebagai penegak hukum harus bertindak tegas, mengembalikan ketidak-tertiban, yang menjadikan gangguan ketidak-seimbangan masyarakat. Maka pentingnya, menghadirkan kata “keadilan” (sense of justice) dalam masyarakat.
Prof. Subekti, SH, mengartikan hukum adalah kebenaran dan keadilan, menjadikan sebuah ketertiban hukum. Jika, masyarakat terganggu, tidak tertib, maka penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka, hukum (“law”) dimaknai, “right & justice, so in order”. Kasuistis pembakaran manusia oleh manusia lain, tanpa proses hukum. Mencederai nilai kebenaran, nilai keadilan dan sangat mengganggu ketertiban masyarakat yang menginginkan sebuah keteraturan dalam hidup bersama.
Kasus pembakaran orang yang dituduh pencuri, fakta hukum yang harus diungkap kebenaran. Kebenaran ini harus ditegakan dalam sebuah sistem proses hukum yang dinamakan penegakan hukum, dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, ditambah peran Advokat. Sehingga kebenaran muncul dalam sebuah proses hukum, yang nantinya hukuman (punisment), menjadikan penghargaan (reward) sebagai suatu rasa keadilan, bagi keluarga korban dan masyarakat. Sehingga gangguan akan peristiwa pidana yang terjadi, diproses hukum memulihkan ketertiban masyarakat seperti sediakala.
Jika, kebenaran dan keadilan tidak ditegakan sebagaimana mestinya, maka mengancam cita-cita keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat. Keteraturan dalam hidup bersama ini, diawali dengan kesepakatan-kesepakatan bersama menjadi konsensus yang dinamakan sebuah sistem hukum, yang dipilih yaitu konsep sistem negara hukum (rechtstaat). Maka, hukum sebagai panglimanya, konsekuensi segala problematika yang timbul secara kasuistis, harus melalui proses hukum, untuk ditegakan dan diadili. Artinya masyarakat secara umum akan meminta sebuah “keadilan” ditegakan.
Maka, John Rawls, mengatakan jika hukum tidak bertintak atas nama keadilan, lebih baik mati. Kematian dapat dimaknai secara luas, mati baik secara lahir dan batin. Derita psikologis berbuah kematian, kematian perasaan (dead of sense), kelaparan, kemiskinan, ancaman kematian ekonomi kehidupan keluarga korban yang ditinggalkan. Karena tidak siap tulang punggung keluarga mati mengenaskan korban pembakaran. Manusia, sebagai manusia harus sadar dalam dirinya terikat hukum dan keadilan. Keadilan sebuah barang berharga, seperti dambaan setiap orang akan “cinta sejati” (true love). Orang rela mati, untuk hilangnya sebuah rasa kasih sayang, kata keadilan menjadi sangat keramat bagi manusia.
Tidak salah seorang Filsuf kuno, Aristoteles, memaknai keadilan sebuah kebahagiaan (honesty). Isteri keluarga korban pembakaran, terampas kebahagiaan dengan suami tercintanya, apalagi saat ini sedang mengandung anak. Saking keramatnya kata keadilan, cendekiawan bingung mengartikannya, karena saking luasnya. Apalagi orang awam, hanya tahu minta keadilan, dimana keadilan. Keadilan sangat mahal bagi orang-orang bawah yang ter-marjinalkan. Tetapi, sebaliknya keadilan, seakan mudah dapat dibeli bagi orang atas disebut “borjuis”. Tentu, makna keadilan bukan arti yang dimaksud oleh segelintir oknum, yang menyelewengkan atas nama keadilan itu sendiri.
Negara Hukum
Tidak tertutup mata ada oknum, penegak hukum sengaja menyelewengkan secara sistematis atas nama keadilan. Muslihat penipuan begrog (Belanda), kekeliruan yang nyata, khilaf. Kepura-puraan (to pretend) dalam keadilan, mistake justice atau ketidak-adilan (injustice). Membawa luka dan sakit hati yang mendalam. Mencederai rasa keadilan itu sendiri. Melawan arus arti keadilan yang sebenarnya secara umum, sebagai kesepakatan bersama masyarakat. Tujuan untuk keteraturan, kebahagiaan, dan ketertiban bersama, dilandasi kasih sayang, manifestasi cinta sejati secara keseluruhan. Dalam bingkai konsensus hukum, disebut sistem negara hukum.
Secara sederhana, John Rawls, mengartikan keadilan sebagai “fairness”. Diartikan masyarakat dibangun dengan sebuah “doktrin kontrak”. Dimaknai sebuah kontrak sosial antar sesama manusia lainnya. Didalam “fairness”, mengandung arti kejujuran (integrity), kesetaraan (equality), kebebasan (freedom). Mengembalikan keadilan ke makna asali, yaitu asal mula dibangunnya sebuah hubungan manusia yang disebut sebagai doktrin “kontrak” diartikan sebagai kontrak sosial.
Keadilan harus dapat menjawab problematika terjadinya sebuah peristiwa hukum, akan permintaan kata “keadilan” itu sendiri. Kembali masyarakat harus mengetahui dan sadar, dirinya terikat hidup dan kehidupannya dengan sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial yang dimaksud adalah sebuah kesepakatan, sebagai konsensus bersama yang dinamakan negara hukum (rechtstaat). Proses hukum, dengan penegakan hukum, berbuah kebenaran dan keadilan, mengembalikan keteraturan, ketertiban yang didambakan seluruh masyarakat.
Oleh :
TRI TEJONARKO ( TRI TEJO N),
LEMHANNAS RI, Taplai Jatim Angkatan I/2014
ADVOKAT/Pengamat Hukum, Sosial, Demokrasi
PRAKTISI HUKUM,
Pengurus ORMAS KOSGORO
SEKRETARIS LBPH KOSGORO, Propinsi Jawa Timur
Wk.PDK KOSGORO JATIM
Mahasiswa Magister Hukum (UBHARA SBY)
NIK /KTP: 3578021011650003
Jl. Gayungan I/11 Surabaya
HP: 081 2312 7973
No.Rekening : 100 382 6623 , BRI Syariah – Sby.
NPWP : 08-634-643-4-609-000