Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA)
Masih ingatkah anda nama Prita Mulyasari? Ibu dua anak ini, dimejahijaukan dan sempat mendekam di penjara wanita Tangerang, Banten. ‘Kesalahannya’, gegara ia menuliskan “curhatnya” melalui surat elektronik yang kemudian menyebar di internet. Dia rupanya tidak kuasa menahan kekesalannya atas pelayanan yang ia dapatkan dari Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. Selain sempat ditahan dia harus menghadapi tuntutan perdata dengan keharusan membayar ratusan juta rupiah. Sontak publikpun menggalang aksi solidaritas melakukan pembelaan.
Kasus tersebut tampaknya menyadarkan kita, bahwa keadilan memang sulit didefinisikan, tetapi sebenarnya mudah dirasakan. Dukungan kepada Prita dari berbagai lapisan masyarakat baik yang secara langsung maupun melalui media sekedar mengirim SMS simpati membuktikan kebenaran kalimat tersebut. Sebelumnya kita tidak pernah menyangka, bahwa kasus pribadi melawan lembaga bernama rumah sakit akan seheboh itu. Tetapi rasa keadilan masyarakat terusik ketika Prita diperlakukan ‘tidak adil’ oleh penegak hukum di negeri yang mengklaim sebagai negara hukum ini. Contoh lain, bagamaimana bisa seorang bapak dipenjara karena dituduh lalai ketika istrinya jatuh meninggal saat ia membonceng dirinya. Ibu malang ini meninggal justru karena ditabrak mobil seorang istri polisi. Ironisnya, penabrak yang kebetulan istri seorang penyidik POLRI sama sekali tak tersentuh. Alasannya, karena peristiwa ‘penabrakan’ di luar kemampuannya, overmacht kira-kira begitulah. Sang suami pembonceng almarhumah itupun kemudian harus meninggalkan anak yang masih balita karena dipenjara. Sudah kehilangan istri anakpun terlunta, begitulah kalimat berita yang menarik waktu itu.
Akan tetapi, berbicara mengenai dunia penegakan hukum dengan muara keadilan, kita memang tetap harus melihat secara kasus perkasus. Sebab, pembedaan sanksi yang diberikan sang hakim pastilah disebabkan oleh perbedaan kasusnya. Dalam dunia hukum telah diyakini, bahwa tidak ada satu kasuspun yang terjadi mempunyai kesamaan yang benar-benar sama. Sebagai contoh, ada dua peristiwa pencurian pisang. Yang pertama dihukum ‘berat’ sedang yang kedua dibebaskan. Sama-sama mencuri pisang tetapi berbeda sanksi hukum yang diberikan. Kedua kasus pencurian tersebut pastilah berbeda karakteristiknya. Pencurian pisang pertama disebabkan oleh ‘hobi’ sedang pencurian kedua disebabkan karena terpaksa. Pada saat yang sama kitapun juga tidak boleh melihat kasus secara sepihak. Dalam suatu tindak pidana misalnya, selalu ada pelaku dan korban. Keberpihakan kita biasanya selalu dibarengi oleh keberpihakan secara emosional dan bukan rasional. Keberpihakan emosional biasanya hanya didasari oleh pandangan yang melihat suatu kejadian antara yang kuat dengan yang lemah atau antara yang kaya dan miskin. Ketika, misalnya, hakim memberikan hukuman kepada si miskin karena dia mencuri setandan pisang si kaya, biasanya kitapun secara emosional memihak si pencuri miskin. Padahal, si kaya yang menyebabkan si miskin dihukum tersebut sudah lama kesal karena pisang di kebunnya selalu hilang. Kita lupa bahwa yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin sama kedudukannya di mata hukum. Kalau yang lemah dan yang miskin perlu dilindungi harkat dan martabatnya yang kuat dan yang kaya juga perlu dilindungi harta bendanya. Kepentingan si kuat dan si kaya adalah terjaminnya keamanan harta bendanya dari pengambilan secara tanpa hak oleh orang lain. Bagamaina si kaya akan berbelas kasih kepada si miskin kalau si miskin selalu merongrong harta bendanya. Dan, yang perlu kita ingat salah satu fungsi hukum adalah di samping sebagai tindakan preventif juga berfungsi sebagai curatif. Dalam hal ini kitapun harus mengerti bekerjanya penegak hukum. Sejauh para penegak hukum bekerja sesuai aturan dan dengan hati nuraninya, tanpa ada motif-motif yang menodai nurani tersebut, patut kita hormati. Kalau tidak, maka masyarakat akan kacau. Sebab, orang boleh bertindak apapun sesuai keinginannya. Dalam konteks ini, mestinya kita perlu mengkritisi adanya jargon “hukum harus membela yang lemah” kalau yang lemah itu hanya diartikan sekedar orang miskin. Yang miskin belum tentu “tidak bisa salah” sama halnya dengan “yang kaya belum tentu selalu benar.” Yang lebih tepat adalah “hukum harus melindungi yang lemah”, siapapun orangnya. Yang lemah itu tidak hanya si miskin tetapi juga orang kaya, sama halnya yang kuat tidak mesti yang kaya. Keduanya berpotensi salah dan benar di mata hukum.
Di saat semakin terbukanya informsasi ini memang siapapun penegak hukum mestinya tidak ada yang berani main-main dengan tugasnya. Membolak-balikkan pasal hanya karena sebuah order para pihak atau pihak tertentu atau karena berpihak kepada pihak tertentu secara tidak bertanggungjawab, sudah bukan zamannya. Publik akan segera bersuara lantang ketika merasakan ketidakberesan penegakan hukum. Jika salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Yang harus diingat oleh para penegak hukum adalah, bahwa keadilan itu memang susah dibahasakan dalam bentuk definisi-definisi. Akan tetapi, kehadirannya sangat mudah dirasakan. Ketika para penegak hukum keliru memberikan rasa keadilan kepada publik itulah keresahan berumula.
Di atas semua itu, praktik-praktik “kolaborasi” oknum penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara ) dalam bentuk mafia hukum, tindakan-tindakan overdosis para penyidik, telah menjadi sorotan dan berujung kepada rasa ketidakpercayaan masyarakat. “Yang benar dipenjara, yang salah tertawa,” Rhoma Irama pun pernah mengilustrasikan potret penegakan hukum via salah satu lagunya. Ketidakpercayaan masyarakat itu betapa telah melembaga sedemikian rupa. Kondisi inilah yang sejatinya menyebabkan masyarakat nyaris tidak mempercayai hampir setiap episode panggung penegakan hukum. Ini pulalah yang menyebabkan timbulnya empati dan buta setiap ada kasus penegakan hukum yang menimpa. Kalau Cicero pernah mengatakan “tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh”, dalam kondisi dunia penegakan hukum yang ternyata tidak ideal, maka msyarakatpun rupanya ingin mengganti jargon tersebut dengan kalimat “langit, cepatlah runtuh agar tidak terjadi penegakan hukum.”
Lumajang, 3 Maret 2021.