Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Para bijaksanawan berpendapat, bahwa manusia merupakan mikrokosmos yang mengandung semua unsur makrokosmos. Kesimpulan yang akhirnya menjadi predikat eksistensi manusia itu, didasari oleh kenyataan bahwa selain wujudnya yang bersifat fisik manusia diberikan akal. Akal ini menjadi anugerah terbesar dari Pencipta kepada manusia. Dengan berbekal akal, maka manusia selain sebagai makhluk fisik juga sebagai makhluk intelektual dan spiritual. Dengan intelektual dan spiritual ini manusia memiliki kesadaran dua aspek sekaligus, yaitu baik yang berada di dalam maupun di luar dirinya.
Salah satu bentuk aktivitas intelektual manusia ialah kegiatan menulis. Kekaguman kita tentu akan muncul ketika memasuki dunia perpustakaan. Di dalamnya tersusun berbagai dan/ atau berjilid-jilid buku yang ditulis oleh para penulis yang namanya ikut melekat bersamanya. Buku-buku yang berisi informasi tentang berbagai hal itu menjadi sumber pengetahuan yang tidak pernah kering dan terus berkembang dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Dari buku-buku itu pula generasi berikutnya dapat mengetahui gambaran situasi dan kondisi sekaligus kehidupan manusia ribuan tahun yang lalu.
Manfaat Menulis
Seorang teman yang terbilang sukses secara materi menyampaikan testimoni tentang ‘keberkahan’ hidup berikut capaian-capaian materinya selama ini. Menurutnya harta yang ia dapatkan saat ini (kebanyakan) adalah dari modal menulis. Penulis saat sama-sama masih kuliah, memang menyaksikan sendiri, namanya sering terpampang di koran-koran terkenal. Popularitasnya di media kemudian mengantarkannya menjadi editor sebuah penerbitan terkenal pula waktu itu. Ibarat sebuah ‘lingkaran malaikat’, Kehobiannya menulis menyebabkannya dia (terpaksa) lekat dengan dunia literasi. Kelekatannya dengan dunia literasi menyebkannya bakat menulisnya seperti menemukan mata air yang terus mengalir.
Tentang manfaat menulis ini menurut The Liang Gie, sebagaimana dikutip oleh Yohanes Sehandi dalam sastra-indonesia.com (10/05/2012 memang banyak. Menurutnya, kegiatan tulis menulis melahirkan sekurang-kurangnya enam nilai. Keenam nilai itu adalah sebagai berikut:
Pertama, nilai kecerdasan. Seseorang yang sudah terbiasa menulis, sadar atau tidak, akan terbina dan berkembang dengan baik daya kritis dan kreatifnya, akan terbiasa berpikir kritis, sistematis, dan logis. Daya persepsi dan analisisnya pun dipertajam. Kebiasaan-kebiasaan yang demikianlah yang menyebabkan kemampuan kecerdasan atau intelektual seorang penulis terbina dan berkembang dengan baik.
Kedua, nilai kependidikan. Seseorang yang terbiasa menulis, dengan sendirinya akan terbiasa dan terlatih dalam bekerja dan menghasilkan karya apa saja dengan mengandalkan kemampuan diri-sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Menulis termasuk salah satu jenis kegiatan masyarakat modern yang keberhasilannya ditentukan oleh keuletan dan ketekunan diri-sendiri. Dinamika perjuangan seorang penulis, mulai dari nol sampai menjadi seorang penulis/pengarang kawakan, tidak lain dan tidak bukan, melalui proses belajar yang tekun dan terus-menerus. Proses belajar yang tekun dan terus-menerus itulah yang melahirkan nilai kependidikan dalam kegiatan tulis-menulis.
Ketiga, nilai kejiwaan. Seseorang yang tekun berlatih menulis, lama-kelamaan akan bisa dan berhasil mengorbitkan tulisan atau karangan di berbagai surat kabar dan majalah atau diterbitkan menjadi buku. Karangan yang berhasil dipublikasikan itu tentu dibaca dan dinikmati banyak orang. Tentu juga akan mendapatkan banyak pujian atau penghargaan dari berbagai pihak. Keberhasilan yang diperoleh itu, akan dengan sendirinya memunculkan kepuasan batin, kegembiraan kalbu, kebanggaan pribadi, dan kepercayaan diri. Ini tentu tidak bisa diukur dengan nilai uang, termasuk nilai honor tulisan yang diberikan surat kabar atau majalah atau penerbit buku. Perasaan puas, gembira, dan bangga itulah yang menimbulkan nilai kejiwaan dari kegiatan tulis-menulis.
Keempat, nilai kemasyarakatan. Nilai kemasyarakatan diperoleh berkat tulisan-tulisan seseorang yang tersebar luas dan dibaca masyarakat banyak. Seorang penulis yang terampil dan profesional namanya akan mudah dikenal banyak orang, dan tentu saja mendapat pujian atau penghargaan, apapun bentuk pujian atau penghargaan itu, meskipun juga terkadang mendapat kritikan dan cacimaki dari segelintir pembaca. Tentu saja tidak sedikit pembaca yang senang membaca atau mengikuti tulisan-tulisan seorang penulis yang jempolan, di media mana pun dia menulis. Masyarakat pembaca merasa terbantu dengan membaca tulisan seorang penulis. Di sinilah munculnya nilai kemasyarakatan dari kegiatan tulis-menulis.
Kelima, nilai keuangan. Tulisan atau karangan yang dihasilkan seseorang, terutama yang telah dipublikasikan di berbagai media penerbitan, tentu mendapatkan imbalan yang sesuai dan pantas. Jumlah honor yang diperoleh seorang penulis sangat ditentukan oleh besar-kecilnya media yang memuat tulisannya. Imbalan yang diperoleh dari hasil kegiatan menulis inilah yang memunculkan nilai keuangan dari kegiatan tulis-menulis.
Keenam, nilai kefilsafatan. Sebagaimana diketahui umum bahwa tulis-menulis adalah kegiatan yang paling ampuh mengabadikan buah pikiran dan perasaan umat manusia untuk diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ungkapan “Segala sesuatu akan musnah, kecuali perkataan yang tertulis” memang bukan tanpa berdasar. Perkataan (ajaran) dari tiga orang filsuf legendaris dunia, Sokrates, Plato, dan Aristoteles, dan para bijaksanawan lainnya ribuan tahun lalu merupakan sebagian contoh bahwa perkataan yang tertulis itu tak pernah musnah, meski jasad orangnya sudah musnah berkalang tanah.
Putusan Sebagai Mahkota Hakim
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR/ 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan musyawarah mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Yang demikian juga ditegaskan oleh Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ”Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Meskipun demikian putusan ini harus dibuat secara tertulis.
Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa putusan merupakan mahkota hakim. Suatu mahkota sering dimaknai sebagai simbol tradisional dalam bentuk tutup kepala yang dikenakan oleh raja, ratu, dan dewa. Mahkota merupakan lambang kekuasaan, legitimasi, keabadian, kejayaan, kemakmuran dan kehidupan setelah kematian bagi pemakainya.
Penyusunan putusan selain harus mempedomani kaidah-kaidah teknis (peradilan) juga harus disusun dengan menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada tahapan demikian, menguasai dunia tulis menulis bagi hakim sejatinya merupakan suatu keniscayaan. Pada saat yang sama menulis ternyata sering dirasa bukan perkara mudah. Orang yang belum terbiasa menulis selalu kebingungan membuat kalimat permulaan sebagai pembuka tulisan. Sebaliknya, orang yang terbiasa menulis selalu dapat memulai dengan kalimat apa pun. Ibarat seorang yang sudah menguasasi medan hutan, dari sudut mana pun dia melangkahkan kaki, selalu akan dapat dengan mudah menemukan jalan keluar. Sebab, menulis memang sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat sejumlah aspek pendukung seperti pengatahuan bahasa, penalaran, logika, ketelitian, dan ketarampilan olah kata yang dituangkan dalam bentuk kalimat-kalimat efektif.
Dengan demikian, pada akhirnya sepintar dan seterampil apa pun, bagi seorang hakim semuanya belum cukup sebelum mampu menuangkan dalam bentuk putusan. Dan, putusan tidak hanya ucapan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Meskipun secara yuridis, suatu putusan yang dipengi adalah yang diucapkan dalam sidang (terbuka untuk umum), tetapi harus tetap dibuat secara tertulis. Putusan yang tertulis inilah yang akan menjadi dokumen resmi pengadilan. Selanjutnya dokumen ini dapat menjadi bahan kajian, rujukan bagi siapa pun, tidak saja para hakim tetapi oleh masyarakat hukum (mahasiswa, dosen, atau masyarakat hukum lainnya).
Oleh karena putusan ini pada akhirnya akan menjadi dokumen pengadilan, maka sejak putusan yang tertulis itu diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, maka sejak itu pula menjadi domein pengadilan sebagai institusi. Pada akhirnya meskipun putusan itu produk majelis, tetapi bagi masyarakat tidak penting lagi mengingat-ingat majelis yang membuat putusan. Masyarakat pada akhirnya akan bertumpu kepada pengadilan tempat putusan dibuat. Setelah menjatuhkan putusan, pada babak berikutnya Majelis pemutus perkara hanya akan bertanggung jawab secara moral sebab tidak pernah tercatat dalam sejarah dunia peradilan, pernah ada seorang hakim dituntut secara hukum karena mengadili suatu perkara. Tentang hubungan putusan dengan institusi pengadilan ini setidaknya pernah secara resmi diingatkan oleh Prof. Bagir Manan, dalam kapasitasnya sebagai ketua MA waktu itu. Itulah sebabnya, maka pernah ada semacam himbauan, dalam perkara yang mengundang perhatian publik, pimpinan pengadilan–sebagai orang yang paling bertanggungjawab pada intitusi pengadilan yang dipimpinnya–ikut mendiskusikan perkara yang bersangkutan. Majelis yang bersangkutan pun tidak perlu tersinggung sebab keikutsertaan pimpinan ini hanya sebatas memberi tambahan masukan sebagai pengayaan wawasan dan pendapat (second opinion) bukan mencampuri kemandirian (independence) Hakim.
Tim Korektor Putusan
Oleh karena putusan hakim pada akhirnya menjadi domein pengadilan maka pimpinan pengadilan dapat, secara tidak langsung, terlibat juga pada pengetikan putusan. Keterlibatannya diwujudkan dalam bentuk pembetukan sistem yang memungkinkan kesalahan pengetikan mengalami “nol kesalahan” (zero error). Dalam rangka mengikis terjadinya kesalahan seminimal mungkin penulisan putuan, di suatu daerah (baca: Jawa Timur) pernah ada kebijakan menarik. Kebijakan itu menarik karena mengandung semangat korp yang cukup bagus. Kebijakan itu ialah adanya kewajiban bagi pimpinan pengadilan tingkat pertama agar membaca setiap putusan pengadilan tingkat banding sebelum disampaikan kepada para pihak (pembanding dan terbanding). Apabila dirasa sudah fit segara disampaikan kepada para pihak tetapi jika masih terdapat kekeliruan baik redaksional ataupun kesalahan lainnya, maka segera dikonfirmasikan kepada majelis banding yang bersangkutan. Meskipun di era one day minute kebijakan seperti itu agak sulit diterapkan, akan tetapi setidaknya yang demikian merupakan upaya mengurangi kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja yang bisa berakibat buruk jangka panjang.
Pada peradilan tingkat pertama, yang demikian bisa dibentuk semacam korektor putusan, terutama menyangkut putusan-putusan yang menarik perhatian publik yang berpotensi memancing reaksi atau respon luas. Upaya ini ditempuh dalam menjaga integritas hakim. Dan, integritas hakim pada akhirnya akan menjadi integritas institusi peradilan. Atau kalau dibalik, integritas peradilan berawal dari integritas para hakim dan integritas para hakim sebagiannya ditandai oleh putusan yang telah diucapkan yang sebelumnya telah dibuat secara tertulis. Selamat membiasakan menulis.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com