JAKARTA, beritalima.com – Kebijakan B20 (2018) awalnya adalah B5. Arrtinya setiap liter BBM-Solar atau bahan bakar bermesin diesel terdiri dari 5% volume minyak kelapa sawit dengan 95% minyak solar/diesel. Ini sudah lama berlangsung di setiap SPBU di seluruh Indonesia.
Saat serbuan dan tekanan dolar Amerika telah menembus angka 14 ribu rupiah lebih, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan dan himbauan serta harapan agar B5 menjadi B20.
Mengapa tidak sekaligus B80 atau B100? Padahal hampir sebagain besar BBM yang kita gunakan, baik untuk transportasi maupun industri, diimpor oleh Pertamina.
Dan, tidak hanya solar saja yang harus diperhatikan dari B5 menjadi B20 untuk menekan, tapi juga Gasolin (Bensin/Premium, Pertalit dan Pertamax) yang sebagian besar masih impor.
Kebijakan impor BBM perlu dilakukan secara integral dan menyeluruh, baik BBM solar maupun gasolin.
Empat tahun lalu saya pernah ingin menawarkan produk konverter agar genset bisa menggunakan gasolin dan LPG, sekalipun sebagian besar juga impor. Berita terakhir Indonesia impor LPG dari Iran.
Akan tetapi, pihak penjual genset mengatakan, jangan hanya konverter gasolin bisa digunakan untuk LPG, akan tetapi coba buat agar genset BBM solar/diesel bisa menggunakan LPG atau CNG.
Kita tahu bahwa CNG merupakan prodak Indonesia (PN Gas) yang hampir semuanya diekspor. Mengapa tidak digunakan sebesar-besarnya untuk sektor transportasi dan industri? Konon LNG dan CNG diekspor sangat murah sekali.
Memang, hingga saat ini belum ada genset atau mesin kendaraan diesel yang bisa menggunakan LNG/CNG sebagai alternatif B5 atau B20.
Bayangkan, setiap hari Pertamina mengimpor BBM (solar dan gasolin) sebesar 690 miliar rupiah. Setahun 251.85 triliun rupiah devisa keluar negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan impor, hingga menjadi defisit transaksi berjalan secara makro. Ekonomi kita menjadi beban, wajar dolar menguat.
Solusi dan Inovasi
Setelah kebijakan Pemerintah melalui himbauan Presiden Jokowi, para pengusaha kendaraan bermotor (AKBM) telah siap menerapkan BBM dengan B20 untuk mesin dieselnya. Namun, apakah langkah kongkrit itu cukup signifikan untuk mengurangi impor BBM kita?
Apa yang perlu dilakukan? Tentu banyak hal dan aspek serta sektor yang harus mendukung kebijakan dan himbauan Presiden Jokowi.
Untuk itu kita harus merapatkan barisan dan mendorong serta mendukung kebijakan yang nyata, untuk menyelamatkan kemandirian energi BBM dan menekan dolar serta defisit perdagangan Indonesia.
Dengan menerapkan kebijakan BBM, terutama B20, maka negara bisa menghemat devisa USD 5,9 miliar atau setara 885 triliun. Ini merupakan nilai lebih dari sepertiga defisit neraca transaksi Indonesia.
Keseriusan bisa membantu kebijakan B20. Seperti Brazil saja di tahun 1970 sudah bisa mengimplementasi 100 persen. Maka, kebijakan B20 menjadi B100 untuk kendaraan kelak bisa menyelesaikan ini.
Harapan dan semangat Presiden Jokowi perlu didukung inovasi, baik BPPT, Pelaku Industri Otomotif serta Kementrian Perindustrian dengan insentif dan regulasi mendukung inovasi dan revolusi energi dari BBM 100% fosil menjadi BBM (B20) menjadi B100 (murni bio diesel, misalnya).
Selain itu, inovasi dari disain mesin ber-BBM fosil bisa dimodifikasi menjaddi BBM-bio (yang dimulai dari B20, misalnya hingga B100, murni dari CPO non Fosil yang merupakan inovasi dan modifikasi.
Untuk itu peran IPTEK dan regulasi harus sinergi. Kita tahu bahwa awal mula penemu mesin Rudolf Diesel (1893) itu menggunakan minyak jarak dan minyak nabati hingga minyak kacang tanah yang non fosil. Mengapa sekarang harus tergantung penuh dengan BBM fosil?
Mari kita kembalikan kepada awal mula BBM digunakannya, yaitu Bio-Diesel yang bisa kita manfaatkan dari produksi kelapa sawit dengan produksinya telah mencapai 1 juta liter per tahun, yang sangat cukup untuk memeuhi kebutuhan energi di dalam negeri, khususnya diesel.
Saatnya produsen otomotif dalam hal ini divisi litbangnya dengan BPPT serta LIPI secara intensif dan inovatif bisa melakukan terobosan teknologi dan modifikasi konverter untuk mengembalikan agar mesin diesel berbahan bakar fosil (BBM) yang 100% bisa dimodifikasi tidak hanya menjadi B20 tapi menjadi B100.
Secara teknis dan fisik minyak solar/diesel berbeda dengan minyak kelapa sawit, yaitu tingkat kekentalannya. Jika tidak dibuat konverter khusus, agar sesuai dan mirip dengan sifat fluida BBM solar, yang mana sekarang pada sistem injektor dan nozle, maka akan terjadi masalah, yaitu akan macet dan mampet, karena tingkat kekentalannya berbeda.
Inovasi dan Energi
Kedepan, jika mau diterapkan dan tidak menjadi masalah pada sistem injektor dan mesinnya, maka diperlukan konverter sedemikian, sehingga mesin diesel tetap bisa digunakan dua sistem, yaitu dengan BBM berbasis fosil (B5-B20) dan dengan konverter yang menggunakan BBM berbasis Nabati/CPO (B100). Dengan demikian mesin dan pengguna menjadi aman serta tidak menjadi masalah kedepan.
Untuk itu, peran BPPT dan LIPI serta harus bisa bersinergi dengan pihak produsen otomotif khususnya mesin berbahan bakar minyak solar atau diesel.
Untuk hal itu dibutuhkan peran Kementrian Perindustrian yang berwenang membawahi para produsen otomotif dan asosiasi semacam Gakindo dengan Kementrian Ristek Dikti yang membawahi BPPT, LIPI dan Lembaga Perguruan Tinggi sejumlah Universitas atau Institut khusunya Teknik Otomotif.
Sehingga, harapan dan kebijakan Presiden Jokowi yang menekankan B20 akan terwujud dan operasional, sehingga masyarakat pengguna BBM tidak merasa dikorbankan demi TKDN, dan menyelamatkan devisa dan beban impor BBM Fosil yang sudah mengkuatirkan, karena sudah 1/3 dari Nilai Neraca Perdagangan yang akan terus saja defisit.
Untuk itu pula, sudah saatnya melakukan koordinasi dan sinergi, baik dari kalangan swasta, pemerintah dan peran serta Litbang, baik BPPT, LIPI dan Pihak Produsen Otomotif di Dalam Negeri. (cr/gn)