Kebijakan B20 Hingga B100 Suatu Inovasi-Revolusi Teknologi BBM

  • Whatsapp

Oleh : Djoko Goenawan
dan
Tarsoen Waryono

Kebijakan B20 (2018) awalnya adalah B5 (2014), artinya setiap liter BBM-Solar atau bahan bakar bermesin diesel terdiri dari 5% volume minyakelapa sawit dengan 95% minyak solar/diesel, yang sudah lama berlangsung di setiap SPBU di seluruh Indonesia. Saat serbuan dan tekanan Dolar Amerika telah menembus angka 14 ribu rupiah lebih, maka Presiden Jokowi mengeluarkan salah satu kebijakan dan himbauan serta harapan agar B5 menjadi B20, mengapa tidak sekaligus B80 atau B100 sekalian? Padahal hampir sebagain besar BBM kita yang digunakan baik untuk Transportasi maupun Industri diimpor oleh Pertamina, dan tidak hanya Solar saja yang harus diperhatikan dari B5 menjadi B20 akan tetapi juga Gasolin (Bensin/Premium, Pertalit dan Pertamax) adalah sebagian besar juga sangat tergantung impor dan menghamburan devisa?.

Kebijakan menekan impor BBM perlu dilakukan secara integral dan menyeluruh baik BBM untuk solar maupun gasolin. 4 (empat) tahun lalu, saya pernah ingin menawarkan prodak Konverter agar Genset bisa menggunakan Gasolin dan LPG (sekalipun juga sebagian besar adalah impor dan berita terakhir Indonesia mengimpor LPG dari Iran), akan tetapi pihak penjual Genset mengatakan, jangan hanya Konverter Gasolin bisa digunakan untuk LPG saja akan tetapi coba buat agar Genset BBM Solar/Diesel bisa menggunakan LPG atau CNG. Kita tahu bahwa CNG merupakan prodak Indonesia (PN Gas) yang hampir semua nya di Ekspor, mengapa tidak di gunakan sebesar-besarnya untuk sektor Transportasi dan Industri termasuk PLTG milik PLN, sementara konon LNG dan CNG di ekspor sangat murah sekali, ke LN.

Memang, hingga saat ini belum ada Genset atau mesin kendaraan Diesel yang bisa digunakan LNG/CNG sebagai alternatif B5 atau B20. Bayangkan setiap hari Pertamina mengimpor BBM (solar dan gasolin) sebesar 690 Milyarupiah, setahun 251.85 Triliun rupiah devisa keluar negeri, hanya untuk memenuhi kebutuhan impor, yang menjadi defisitransaksi berjalan secara makro ekonomi kita menjadi beban, wajar saja terus dolar menguat, bahkan sejak Krismon 1998 dolar tak pernah menurun, karena salah satu faktornya adalah ketergantungan akan impor BBM khususnya solar/fosil. Sementara produksi gas (CNG/LNG) meningkat dan minyakelapa sawit (CPO) juga meningkatajam, hal ini menjadi kekuatan dan faktor yang mendukung dan menguntungkan Indonesia.

SOLUSI dan INOVASI
Setelah Kebijakan Pemerintah melalui himbauan Bapak Presiden Jokowi, para pengusaha kendaraan bermotor (AKBM) telah siap menerapkan BBM dengan B20 untuk mesin Dieselnya. Namun apakah langkah kongkrit itu CUKUP bisa punya Signifikansi bisa mengurangi Impor BBM kita? Apa yang perlu dilakukan, tentu banyak hal dan aspek serta sektor yang harus mendukung kebijakan dan himbauan Presiden Jokowi? Apa saja, untuk itu kita harus merapatkan barisan dan mendorong serta mendukung Kebijakan yang nyata, untuk menyelamatkan Kemandirian Energi BBM dan Menekan Dolar serta Defisit Perdagangan Indonesia. Dengan menerapkan kebijakan BBM, terutama B20 maka negara bisa menghemat devisa USD 5,9 miliar atau setara 885 Triliun merupakan nilai lebih dari sepertiga defisit neraca transaksi Indonesia. Keseriusan bisa membantu kebijakan B20 seperti Brazil saja di tahun 1970 sudah bisa mengimplementasi 100 persen, maka diharapkan kebijakan B20 menjadi B100 kelak dapat menyelesaikannya.

*). Sumbangsih Pemikiran Anak Bangsa
**). BPPT dan ***) FMIPA UI

Harapan dan semangat Presiden Jokowi perlu didukung inovasi baik BPPT/LIPI? Pelaku Industri Otomotif serta Kementrian Perindustrian dengan insentif dan regulasi mendukung inovasi dan revolusi energi dari BBM 100% fosil menjadi BBM (B20) hingga menjadi B100 (murni bio-diesel, misalnya). Selain itu, inovasi dari disain mesin ber-BBM fosil bisa dimodifikasi menjaddi BBM-bio (yang dimulai dari B20, misalnya hingga B100, murni dari CPO non Fosil yang salah satu inovasi dan modifikasi). Untuk itu peran IPTEK, Inovasi dan Regulasi harus Sinergi dan Sinkron.

Kita tahu bahwa, awal mula penemu mesin Rudolf Diesel (1893) itu menggunakan minyak jarak dan minyak nabati hingga minyak kacang tanah yang non fosil, mengapa sekarang harus tergantung penuh dengan BBM fosil? Mari kita kembalikan kepada awal mula BBM digunakannya, yaitu Bio-Diesel yang bisa kita manfaatkan dari produksi kelapa sawit dengan dimana produksinya telah mencapai 1 juta liter per tahun, yang sangat cukup untuk memeuhi kebutuhan energi di dalam negeri, khususnya Diesel. Selain itu, dari produksi gas (CNG/LNG) jangan hanya di ekspor saja nilai tambahnya, akan tetapi bisa digunakan sebesar besarnya di dalam negeri, yang dulu Taxi sudah menggunakan dual-bbm (premium/pertamax dan gas) tetapi sekarang sudah mulai digunakan oleh Bus Transjakarta, Angkot (masih terbatas di Palembang) dan Bajai Biru yang bisa menggunakan BBM dan gas (masih terbatas di Jakarta). Saatnya diperluas hingga ke Jawa dan Sumatra hingga seluruh Indonesia.

Tidak hanya, Bus Transjakarta dan Bajai Biru namun bisa untuk kendaraaan pribadi lainya serta sektor angkutan lain dan industri. Saatnya produsen otomotif dalam hal ini Divisi Litbangnya dengan BPPT serta LIPI diharapkan secara intensif dan inovatif bisa melakukan terobosan teknologi dan modifikasi konverter untuk mengembalikan agar mesin Diesel berbahan bakar fosil (BBM) yang 100% bisa dimodifikasi tidak hanya menjadi B20 akan tetapi menjadi B100? Memang secara teknis dan fisik minyak Solar/Diesel berbeda dengan minyak kelapa sawit, yaitu tingkat kekentalan nya. Jika tidak dibuat Konverter khusus agar sesuai dan mirip dengan sifat fluida BBM solar yang mana sekarang pada sistem injektor dan nozle maka akan terjadi masalah, yaitu akan macet dan mampet karena tingkat kekentalan nya berbeda. Tentunya para pakar akan menyelesaikan dan menjadi tantangan dalam rangka inovasi untuk negeri.

INOVASI DAN SINERGI
Kedepan, jika mau diterapkan dan agar tidak menjadi masalah kepada sistem injektor dan mesinnya maka diperlukan Konverter sedemikian sehingga mesin diesel masih tetap bisa digunakan dua sistem yaitu BBM berbasis fosil (B5-B20) dan dengan menggunakan Konverter hingga menggunakan BBM berbasis Nabati/CPO (B100) sehingga mesin dan pengguna menjadi aman serta tidak menjadi masalah kedepan. Untuk itu, peran BPPT dan LIPI serta harus bisa bersinergi dengan pihak Produsen Otomotif khususnya mesin berbahan bakar minyak Solar atau Diesel. Hal ini, Pihak Kementrian Perindustrian yang berwenang membawahi para produsen otomotif dan asosiasi semacam Gakindo dengan Kementrian Ristek Dikti yang membawahi BPPT, LIPI dan Lembaga Perguruan Tinggi sejumlah Universitas atau Institut khusunya Teknik Otomotif. Sehingga Harapan dan Kebijakan Presiden Jokowi yang menekankan B20 akan terwujud dan nyata serta operasional, sehingga masyarakat pengguna BBM tidak merasa dikorbankan demi TKDN dan menyelamatkan Devisa dan Beban Impor BBM Fosil yang sudah mengkuatirkan karena sudah merupakan 1/3 dari Nilai Neraca Perdagangan yang akan terus saja Defisit. Dan sudah saatnya, untuk melakukan koordinasi dan sinergi baik dari Kalangan Swasta, Pemerintah dan Peran Serta Litbang baik BPPT, LIPI dan Pihak Produsen Otomotif di Dalam Negeri.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *