Jakarta, beritalima.com| – Kebijakan pembangunan era modern, seringkali merampas peran perempuan dari tempat tinggalnya. Hal ini begitu terlihat di berbagai daerah, termasuk di Indonesia. Dampak dari pembangunan yang hanya mengandalkan kekuatan modal belaka (kapitalisme), menjadi sorotan diskusi bertema “Akumulasi Primitif, Krisis Reproduksi Sosial dan Daya Transformasional Agensi Perempuan”.
Diskusi yang digelar Forum Praksis ke-7 di Gedung Ignasius, Kolese Kanisius Jakarta (14/3), menghadirkan pembicara Dr. Ruth Indiah Rahayu, peneliti di Research Center for Crisis and Alternative Development Strategies serta Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD).
Ruth membedah terkait bagaimana akumulasi primitif—proses ekspropriasi dan privatisasi sumber daya publik oleh kapitalisme—masih terjadi dalam bentuk baru, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan sejak 1970-an. Proses ini tak hanya mengancam keberlanjutan komunitas agraris, tetapi juga mempersempit ruang sosial perempuan yang selama ini menjadi penjaga sistem reproduksi sosial.
Maksud dari akumulasi primitive, kata Ruth, adalah bagian dari mekanisme kapitalisme yang terus diperbarui. Di Indonesia, proses ini dilakukan melalui pemberian konsesi hutan kepada perusahaan besar, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan.
“Pemerintah mengeluarkan konsesi kepada perusahaan untuk mengindustrialisasi hutan, mengubahnya menjadi perkebunan skala besar dan tambang batu bara. Ini adalah bentuk akumulasi awal yang menghancurkan cara hidup subsisten masyarakat agraris,” terangnya.
Di Sumatera dan Kalimantan, komunitas yang sebelumnya mengandalkan hutan untuk kehidupannya, kini kehilangan akses terhadap tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Selain itu, ruang sosial perempuan juga semakin dipersempit. Jika sebelumnya mereka memiliki peran penting dalam mengelola sumber daya dan menjaga ketahanan pangan keluarga, kini mereka semakin bergantung pada sistem ekonomi berbasis pasar (kapitalisme).
Proses ini, menurut Ruth, bukan hanya perampasan fisik, tetapi juga penghancuran sistem nilai dan pola hidup komunitas. Dengan menghilangkan sistem ekonomi berbasis subsistensi, kapitalisme memaksa masyarakat untuk masuk ke dalam mekanisme ekonomi upahan yang eksploitatif.
“Ketika komunitas kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya, mereka tidak hanya kehilangan sumber pangan, tetapi juga sistem sosial yang selama ini menopang mereka. Perempuan, yang selama ini berperan dalam reproduksi sosial, akhirnya terdorong ke dalam ekonomi berbasis utang dan kerja upahan yang tidak stabil,” bahasnya.
Ruth mengkritik pandangan yang menganggap nilai lebih kapitalisme hanya berasal dari kerja produksi di pabrik atau perkebunan. Menurutnya, reproduksi sosial—yang mencakup pengasuhan, perawatan, hingga produksi budaya—juga merupakan bagian dari kapitalisme, meskipun sering kali tidak dianggap sebagai kerja produktif.
Sejumlah daerah di Indonesia menjadi sasaran penelitian Ruth soal dampak pembangunan kepada peran perempuan. Yang terdekat dari Jakarta, Ruth meneliti kehidupan sosial di Ciptagelar, Lebak, Banten. “Di Ciptagelar, mereka menolak TV komersial karena dianggap merusak pendidikan komunitas. Mereka memilih membuat TV sendiri yang isinya tentang kehidupan mereka, bukan iklan atau hiburan yang tidak relevan,” kisah Ruth.
Tapi, masyarakat Ciptagelar bisa kokoh, mandiri, dengan system ketahanan pangannya. Komunitas ini memilikim lumbung padi yang mampu bertahan hingga 90 tahun, serta menyimpan 164 varietas benih untuk menjaga keberlanjutan pertanian mereka.
Singkatnya, Ruth mengajak peserta diskusi maupun masyarakat umum untuk terus mengkritisi arah pembangunan, mulai dari bagaimana mempertahankan hak atas tanah hingga bagaimana membangun solidaritas lintas sektor. Jadi, memang perlu gerakan kolektif atau gotongroyong untuk mengawal pembangunan agar tetap mengikutsertakan masyarakat (terutama peran perempuan) sebagai pelaku.
Jurnalis: Abri/Rendy




