Oleh :
Rudi S Kamri
Beberapa hari terakhir ini publik disuguhi tontonan yang tidak lucu dan tidak mendidik yaitu terjadinya polemik panas di media massa antara Menkumham Yasonna Laoly vs Walikota Tangerang Arief R Wismansyah. Ini salah satu contoh kecil betapa seringnya kebijakan Pemerintah Pusat tidak sinkron dengan kebijakan Pemerintah Daerah. Ribuan masalah serupa dengan kasus berbeda kemungkinan terjadi namun tidak terekspose media massa.
Penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi konstruktif yang dibangun antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Akibatnya, banyak kebijakan strategis Pemerintah Pusat atau kebijakan Presiden tidak dijalankan sesuai dengan tujuan mulia yang diinginkan. Dan ujungnya masyarakat luas yang dirugikan atas silang sengkarut yang terjadi.
Contoh lain adalah rencana besar Presiden Jokowi untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Reformasi perizinan dengan cara memangkas secara signifikan birokrasi perizinan di tingkat pusat khususnya yang dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kenyataannya tidak semua Pemerintah Daerah mengikuti langkah positif yang dilakukan Pemerintah Pusat. Akibatnya iklim investasi yang kondusif seperti harapan Presiden tidak kunjung terealisasi.
Banyak hal yang menjadi biang keladi tidak sinkronnya kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Salah satunya adalah belum terbentuknya etos kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) secara menyeluruh sehingga adagium : “Kalau bisa dipersulit mengapa harus dimudahkan ?”. Mindset koruptif seperti ini masih menjadi virus menjijikkan yang terjadi di berbagai daerah. Belum lagi ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Kalau Kepala Daerah dari kubu koalisi yang berbeda dengan koalisi pendukung Presiden terkadang ada kesengajaan untuk menggergaji kebijakan Pemerintah Pusat.
Dampak Pilkada langsung juga bisa berpotensi menimbulkan langkah kebijakan yang sengaja dibuat berbeda dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Tujuan mempersulit birokrasi perizinan di level daerah dalam hal ini adalah untuk kepentingan mengumpulkan modal untuk membiayai perhelatan kontestasi Pilkada. Belum lagi adanya indikasi ribuan Perda yang tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Pusat. Intinya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya ketidak-sinkronan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pertanyaannya siapa yang berkewajiban menjadi alat Presiden untuk memonitor agar kebijakan Presiden dilaksanakan atau menjaga sinkronisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ?
Era administrasi pemerintahan Presiden Soeharto ada jabatan otonom di luar kementerian yang dibuat Presiden untuk melakukan tugas khusus melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan jalannya kebijakan Pemerintah Pusat yaitu Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalobang) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan kita ingat sosok tokoh Jawa Barat Solichin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin lama menduduki jabatan tersebut. Tapi setelah rezim Orde Baru tumbang, jabatan ini hilang.
Baru kemudian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembayaran (UKP4) yang dijabat Kuntoro Mangkusubroto. Namun saat masuk ke administrasi pemerintahan Presiden Jokowi jabatan inipun dihapuskan. Saya sangat berharap tupoksi monitoring dan pengawasan pembangunan ini dilakukan oleh Kantor Staf Kepresidenan, tapi realitanya instansi itu hanya fokus menjadi lembaga think-thank dari Presiden Jokowi.
Bagaimana dengan Kementerian Dalam Negeri ? Menurut saya seharusnya instansi ini bisa membantu tugas Presiden untuk melakukan monitoring dan sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah, tapi dengan sosok dan kapabilitas Menteri yang ada sekarang kelihatannya jauh dari harapan untuk diharapkan mampu melakukan tugas strategis tersebut.
Dengan kenyataan tersebut, saya berharap pada periode pemerintahan Presiden Jokowi 5 tahun ke depan, beliau mau membentuk badan khusus atau lembaga setingkat kementrian negara yang bertugas melakukan monitoring dan pengawasan arah pembangunan Nasional serta melakukan sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terbentuknya lembaga ini akan memudahkan Presiden untuk melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi kebijakan yang strategis.
Sebetulnya dua tahun lalu tokoh masyarakat *Suhendra Hadikuntono* pernah mengusulkan terbentuknya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. Tapi usulan yang baik tersebut sampai sekarang belum mendapatkan respon positif dari Presiden Jokowi. Saya berharap untuk periode jabatan 2019 – 2024, Presiden Jokowi berkenan merealisasikan terbentuknya lembaga ini. Kalau lembaga ini terbentuk, Presiden Jokowi akan mempunyai mata dan telinga untuk memastikan semua kebijakan Presiden dapat dijalankan sepenuhnya oleh Kepala Daerah.
Dengan mempertimbangkan 5 program kerja prioritas yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi di SICC pada Minggu 14 Juli 2019 saya memandang sangat urgent pembentukan lembaga khusus yang membantu Presiden untuk memastikan kebijakannya dijalankan oleh aparatur di bawahnya dengan tepat sasaran agar dapat memberikan manfaat optimal bagi rakyat. Kalau tidak, Presiden Jokowi akan terengah-engah melakukan monitoring dan hal itu akan menggerogoti energi Presiden Jokowi yang seharusnya bisa diarahkan untuk menangani kebijakan strategis lainnya.
Satu hal lagi, kalau lembaga ini terbentuk, saya pastikan tidak akan terjadi lagi pertunjukan konyol seperti yang dipamerkan Menkumham dan Walikota Tangerang sepert saat ini. Karena hal tersebut sangat mempermalukan Presiden !!!
*Salam SATU Indonesia*
16072019