Bengkulu, beritalima.com – Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan RI, Budi Wahyuni mengatakan, hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual bukanlah solusi dalam mengurangi angka kejahatan seksual.
Menurutnya, dari sisi biologis, kebiri hanya membuat si pelaku tidak bisa ereksi, sehingga kekerasan seksual masih bisa dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.
“Secara teknis medis dan biologis, kebiri tersebut hanya membuat orang-orang tidak bisa ereksi, sementara kekerasan seksual itu bisa dilakukan walaupun orang itu mengalami ereksi” ungkap Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan RI, Budi Wahyuni, usai mengisi kegiatan Bedah Buku “Dari Tabu Menjadi Tahu” karya komunitas Cahaya Perempuan, Kamis (3/5/2018).
Selain itu Budi menjelaskan, bagi oknum yang mengalami ereksi, dorongan seksual memang bisa terkendali, namun hasrat untuk melakukan kekerasan seksual tidak menurun, dan mendorong oknum menggunakan alat yang tidak senonoh untuk menunjukkan kekuasaan didalam diri mereka.
“Dorongan seksual mereka memang bisa dikendalikan oleh kebiri, namun hasrat untuk melakukan kekerasan seksualnya kepada objek tidak menurun, sehingga mereka menggunakan alat-alat lain, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat dia menggunakan gagang pacul yang dimasukkan ke vagina, karena dia ingin menunjukkan, ada kekuasaan dalam proses penundukan itu,” jelasnya.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri, kebiri merupakan kebijakan presiden RI, Jokowidodo, yang bertujuan mengurangi angka kejahatan seksual pada anak dibawah umur.
Namun menurut laporan World Rape Statistic tahun 2012, hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan di berbagai negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Sebagai hukuman pemberat, prosesnya juga tidak sederhana tetapi itulah kenyataannya, bahwa kekerasan seksual dilihat sebatas persoalan medis dan biologis semata, sementara dari masalah sosial ada relasi kuasa disitu,” pungkasnya.
Komnas Perempuan bersama jejaring tengah menyusun Rencana Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual, satu diantaranya adalah bagaimana proses penghukuman tersebut bukan dalam bentuk kebiri atau hukuman mati, tetapi bagaimana proses hukuman tersebut bisa meliputi upaya yang benar bisa meliputi efek penjeraan. (Ertika).