SURABAYA, Beritalima.com|
Tepat pada 27 Oktober, Israel telah mematikan saluran internet di jalur Gaza sebagai bagian dari operasi militer terhadap wilayah tersebut. Perbuatan itu memicu berbagai reaksi dari banyak pihak, termasuk kampanye di X yang meminta Elon Musk untuk mengaktifkan Starlink di Gaza.
Merespon hal itu, Elon Musk kemudian bersedia memberikan bantuan internet kepada warga Palestina menggunakan Starlink. Alih-alih, Elon Musk justru mendapatkan pertentangan dari Menteri Komunikasi Israel-Shlomo Karhi yang mendeklarasikan rencana pemboikotan seluruh produk dari perusahaan milik Elon Musk itu.
Pertentangan mutlak dari Israel itu menuai beberapa kontroversi dan tak lepas dari sorotan berbagai pihak. Termasuk Fadhila Inas Pratiwi MA, PhD (Candidate), salah satu dosen ahli bidang Politik dan Keamanan Internasional asal departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga (Unair).
Aksi Filantropi Elon Musk
Dhila menilai bahwa keputusan Elon Musk tidak memiliki intensi keuntungan, melainkan sebagai langkah natural kemanusiaan yang melihat adanya penindasan dan genosida di Gaza.
Dhila menganggap langkah elon Musk, sebagai pemilik perusahaan SpaceX dan salah satu orang terkaya di dunia, merupakan aksi filantropi. Dengan kapabilitas yang dimilikinya, ia percaya Elon Musk bisa dengan mudah mewujudkan langkahnya dalam membantu warga Gaza.
Berkat layanan internet yang akan disediakan Starlink, organisasi kemanusiaan yang masuk ke Gaza dapat melakukan koordinasi bantuan secara maksimal dan tepat sasaran. Selain itu, masyarakat dunia bisa memperoleh akses berita yang valid dan dapat menyaksikan kejadian di Gaza. Sehingga, hal itu bisa menjadi salah satu langkah untuk menentang kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel.
Upaya Pembungkaman Warga Palestina
Dhila mengkritik tindakan Israel yang menghalangi bantuan Starlink dari Musk yaitu murni karena alasan keamanan dan kepentingan nasional Israel adalah asumsi yang tidak logis. Pasalnya, Israel telah melanggar hukum internasional dengan membombardir Gaza dan melanggengkan genosida ke wilayah warga sipil yang sebagian besar dihuni oleh anak-anak dan memakan ribuan korban jiwa.
“Kalau kita berbicara hukum internasional, Israel sendiri sudah dengan jelas melanggar hukum internasional dengan membombardir Gaza, mengebom rumah sakit, tempat tinggal, dan membunuh lebih dari 7000 masyarakat sipil yang sebagian besar di dalamnya adalah anak-anak,” tegasnya.
Dhila menilai bahwa Israel hanya mengkhawatirkan masyarakat internasional akan dapat mengakses kebenaran berita di Gaza melalui layanan internet yang disediakan Starlink. Lebih dari itu, menurutnya Israel tidak ingin aksi genosida kepada warga sipil Palestina diketahui dunia luar.
Dosen HI Unair itu juga telah memprediksi bahwa Israel tidak akan diam ketika Elon Musk menyalurkan bantuan internet ke Gaza. Ia mengkhawatirkan bahwa genosida terhadap rakyat Palestina akan semakin masif terjadi dan dunia internasional tidak bisa berbuat banyak karena tidak mengetahui kondisi yang ada di dalam wilayah Gaza. Alih-alih, hal ini justru menjadi bumerang bagi rakyat Palestina.
“Israel bisa dengan mudah melakukan pembantaian terhadap warga sipil di Gaza yang saat ini dan sebelumnya ketika masih ada jaringan internet kita juga sudah melihat apa yang dilakukan oleh Israel di Gaza. Then without the internet we should prepare for the worst thing to happen,” tutur dosen HI Unair itu.
Implikasi Bantuan Terhadap Resolusi Konflik
Dhila menuturkan keberadaan starlink tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap proses perdamaian karena konflik antara Palestina-Israel memiliki kompleksitas yang tinggi dan sulit dipecahkan.
Dalam hal ini, salah satu upaya paling memungkinkan adalah proses negosiasi dan diplomasi. Kemudian, salah satu solusi yang memungkinkan adalah two state solutions.
Lebih lanjut, Dosen HI Unair itu menjelaskan bahwa jaringan internet hanya dapat digunakan oleh organisasi kemanusiaan yang telah terafiliasi sehingga tidak akan mempengaruhi dinamika konflik di Timur Tengah.
“Sebagaimana yang disampaikan Elon Musk bahwa jaringan internet hanya bisa digunakan oleh organisasi kemanusiaan apabila ini dijalankan dengan baik dan benar seharusnya tidak akan berdampak terhadap dinamika konflik yang ada di Timur Tengah,” pungkasnya.
Namun, apabila layanan ini digunakan oleh aktor tidak bertanggung jawab, hal ini justru akan menimbulkan beragam resiko seperti misinformasi dan disinformasi, kriminalitas di ruang siber, penyerangan critical infrastructure, hingga siber terorisme, yang dimana semakin memperunyam konflik yang ada di Timur Tengah.(yul)