SAMPANG, Beritalima.com | Penerapan restorative justice (RJ) dalam kasus kecelakaan lalu lintas maut yang menewaskan tiga orang di Kabupaten Sampang menuai sorotan tajam. Ketua Forsa Hebat, Nur Hasan, mempertanyakan keabsahan serta proses kesepakatan RJ yang disebut telah disepakati para pihak.
Menurut Nur Hasan, kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Secara prinsip, RJ memang dapat ditempuh melalui kesepakatan antara pelaku dan korban yang difasilitasi kepolisian, termasuk penandatanganan surat pernyataan damai. Namun, kesepakatan tersebut tidak serta-merta menghapus proses pidana.
“RJ itu tidak menghapus pidana. Itu hanya menjadi salah satu bahan pertimbangan penegak hukum, mulai dari jaksa sampai hakim. Apalagi ini menyangkut hilangnya tiga nyawa, bukan perkara ringan,” tegas Nur Hasan, Senin (22/12).
Ia juga mengingatkan aparat penegak hukum, khususnya Satuan Lalu Lintas, agar berhati-hati dalam menyikapi perkara tersebut. Pasalnya, sejak awal pelaku dinilai tidak menunjukkan itikad baik dan peristiwa itu sempat dikategorikan sebagai tabrak lari.
Nur Hasan mengungkapkan, selama kurang lebih 15 hari pascakejadian, tidak ada kejelasan mengenai keberadaan pelaku. Perkembangan kasus baru terjadi setelah keluarga korban menyuarakan persoalan ini melalui media sosial dan melaporkannya ke berbagai pihak.
“Hampir 20 hari baru muncul keterangan pelaku menyerahkan diri. Itu pun setelah saya intens berkomunikasi dengan pihak Lantas. Bahkan saat ditelusuri, pelaku diketahui sudah berada di luar kota dan sempat membersihkan mobilnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai penerapan RJ dalam kasus ini masih menyisakan tanda tanya besar. Pasalnya, pelaku disebut tidak pernah memberikan kompensasi maupun permintaan maaf yang layak kepada keluarga korban.
“Tidak ada biaya kematian, tahlilan, atau bentuk tanggung jawab lainnya. Yang ada justru kesan menghindar,” ujarnya.
Nur Hasan juga menyoroti dugaan ketidakterbukaan dalam proses penandatanganan dokumen. Berdasarkan data dan rekaman yang dimilikinya, istri korban disebut tidak memahami isi surat yang ditandatangani, sementara kakak korban mengaku keberatan.
“Korban diarahkan menandatangani surat dengan alasan untuk mengurus kasus tabrakan, ternyata itu surat kuasa. Rekaman suara lengkap kami simpan,” bebernya.
Atas dasar itu, Nur Hasan menegaskan pihaknya akan terus mengawal perkara ini hingga ke proses hukum di pengadilan serta meminta aparat penegak hukum meninjau ulang penerapan RJ agar tidak mencederai rasa keadilan korban.
“Kalau RJ dijalankan, harus dipastikan prosesnya sah, transparan, dan tanpa rekayasa. Jangan sampai keadilan korban justru dikorbankan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kasat Lantas Polres Sampang melalui KBO Satlantas Polres Sampang, Ipda Andi Purwiyanto, menyatakan bahwa pihaknya telah memfasilitasi penyelesaian kasus tersebut secara kekeluargaan dengan melibatkan seluruh pihak terkait.
“Untuk perkembangannya, ketiga belah pihak sudah diselesaikan secara kekeluargaan dan diselesaikan melalui restorative justice,” ujarnya.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, lanjut Andi, proses hukum atas kasus kecelakaan itu dihentikan.
“Iya benar,” ucapnya singkat saat dikonfirmasi. (FA)








