Kecil Bukan Berarti Tak Penting

  • Whatsapp

Dekat dengan kampung siluman dan tempat pemakaman umum, namun banyakwarga berbondong-bondong ke tempat ini. Sirene ambulan pun seperti tak terdengar olehmereka karena mereka disini sedang memenuji kebutuhann hidupnya.Pasar Graha Prima, beralamatkan di Perumahan Graha Prima Lama.

Posisi pasar ini tepatberada di tengah-tengah perumahan sehingga banyak warga sekitar yang datang berbelanja disini. Sekitar satu kilometer dari pasar ialah Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mangunjaya.Jadi, jangan heran apabila mendengar suara bising sirene ambulan.Letaknya persis di pinggir kali. Aliran air di belakang pasar ini menuju ke KalimalangBekasi-Jakarta Timur.

Karena letaknya tepat di pinggir kali, saat hujan turun aroma pasar punmenjadi semakin tak sedap ditambah lagi dengan aroma amis dari berbagai macam darahikan, daging ayam, daging kambing, daging sapi, bahkan aroma amis dari telur yang jatuh dijalan.Luas pasar ini tak sesempit kelihatannya. Luasnya sekitar 2.400 m2.

Sudah banyakwarga sekitar yang mengakui bahwa harga barang yang dijual cukup murah. Misalnya, sesisirpisang barangan dihargai dengan Rp10.000 saja. Murah, kan? Seperti yang sudah dikatakan
di atas, bahwa sebagian besar barang yang dijual di sini ialah hasil panen warga.

Satukilogram ikan nila saja dihargai Rp24.000. tak heran banyak warga yang menyerbu pasar inidi pagi hari.Dengan 35 kios dan ruko, pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan hidup denganharga yang sangat terjangkau.

Selain lengkap dan murah, kelebihan pasar ini aman bagipedagang maupun pembeli karena tak ada preman atau pencuri.Saat memasuki pasar, kita akan disuguhkan dengan berbagai macam makanan yangcocok dijadikan sebagai sarapan, mulai dari bubur ayam, nasi uduk, kue pancong, lontongsayur, dan lain-lain.

Di depan pasar ini juga menjual berbagai macam minuman, mulai dari esdoger, es cendol, bahkan ada warung yang khusus menyediakan kopi. Biasanya yang mampirdi warung ini ialah tukang parkir, supir Angkot (Angkutan Kota), bapak-bapak yang lelahberdiri menjaga jualannya, dan para suami yang menuggui istrinya berbelanja.Pasar ini berseberangan dengan lapangan yang cukup luas, sehingga tak jarangmasyarakat memanfaatkannya sebagai lahan untuk berjualan hasil panennya. Ya, sebagianbesar yang berjualan di pasar ini ialah masyarakat yang tinggal di perkampungan sekitar.Namanya ialah Kampung Siluman.

Bukan, itu hanya nama saja. Tak ada siluman atausemacamnya.Karena letak pasar ini tepat berada di pinggir jalan raya besar yang merupakan aksesutama perumahan, membuat pasar ini tak memiliki lahan parkir. Jika datang ke pasar ini,warga biasanya memarkir kendaraannya tepat di pinggir jalan raya besar, dekat pasar. Takjarang terjadi kemacetan antara pukul 6 hingga pukul 8 pagi. Jika lahan yang dijadikansebagai tempat parkr dadakan ini tak mempu lagi menampung kendaraan atau malas berjalanmasuk ke dalam pasar, warga dapat mengendarai motor masuk ke dalam pasar. Tapi jikabanyak warga yang belanja sambil mengendarai motor, sangat mengganggu sekali.

Jalan masuk menuju pasar ini sangat parah, yakni berbatu-batu dan berlubang,sehingga para pedagang maupun pembeli mengeluh dengan keadaan tersebut. Saat hujanturun, selain aroma tak sedap, jalan berbatu-batu pun menjadi licin, becek, dan menghitam.

Pasar ini seperti sebuah lorong dalam bangunan. Di kanan-kiri jalan ialah kios-kios parapedagang dan di tengahnya ialah jalan berbatu-batu itu. Jika lurus terus masuk ke dalampasar, kita pasti akan melihat rumah-rumah warga, 10 meter dari pasar ialah gereja HKBP(Huria Kristen Batak Protestan) Graha Prima, dan 20 meter dari pasar ialah pabrik tahu.Pasar ini memang tak setenar Pasar Kramatjati, Pasar Senen, atau Pasar IndukCibitung yang pernah dikunjungi Jokowi sewaktu kampanye Pemilu 2014 lalu. Jikamencarinya melalui Google, gambar, deskripsi atau penjelasan, bahkan berita mengenai pasarini pun juga tidak ada. Tapi, dengan munculnya pasar ini di peta atau Google Maps, sudahcukup menghibur.Pengelola pasar ini tak memiliki kantornya sendiri.

Ia hanya warga biasa, bahkan iadengan istrinya membuka usaha rumah makan atau yang biasa disebut dengan Warteg(Warung Tegal). Ya, sepertinya bapak pengelola pasar berasal dari suku Jawa, saat berbicaramedhok-nya sangat terdengar jelas.Penampilan sepasang suami-istri ini sudah habis termakan usia. Wajah, tangan, dankakinya sudah dipenuhi keriput. Tak heran, usia mereka kini sudah 60-an tahun.

Tampilan pengelola pasar ini juga sangat sederhana, kaos lengan pendek berkerah dengan motif garishorizontal coklat dan celana hitam sebatas lutut. Si ibu yang sedang memasak untukdihidangkan di etalase juga demikian, kaos oblong dan celana coklat selutut. Saat itu, bapakpengelola pasar sedang berbelanja. Ia masuk ke dalam pasar seperti pembeli pada umumnya.

Kaspriliani (1615020096)PB4A

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *