Kedelai Melonjak, Tahu dan Tempe Menghilang, Anis: Catatan Merah Pemerintah Awal 2021

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Menghilangnya produk tempe tahu dari pasar karena mogoknya para produsen melakukan produksi beberapa hari belakangan, dipastikan karena harga kedelai yang melonjak tajam belakangan ini.

“Kondisi ini menguak fakta hingga saai ini, untuk membuat tahu dan tempe, Indonesia masih mengandalkan kedelai import,” kata anggota Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati dalam keterangan pers yang diterima awak media, Rabu (6/1).

Politisi senior Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI tersebut mengatakan, kenaikan harga kedelai menjadi catatan merah buat Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal tahun ini.

Di tengah dampak wabah pandemi Covid-19 yang belum juga selesai, resesi ekonomi dan sekarang ditambah lagi dengan naiknya harga kedelai, tentu saja berimbas kepada produsen tahu dan tempe. “Sementara tahu dan tempe adalah makanan pokok setelah nasi bagi masyarakat,” kata Anis.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS bidang Ekonomi dan Keuangan 2020-2025 ini mengemukakan pentingnya, Pertama, masalah data yang selalu menjadi faktor utama dan masalah.
Indonesia negara agraris, tetapi sektor pertaniannya tidak berkembang, bahkan terus mundur. “Salah satunya karena kebijakan pangan nasional yang tidak didasarkan pada data yang kuat dan mengikat semua pemangku kepentingan,” tegas Anis.

Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai Desember 2020 tercatat US$ 461 per ton atau naik 6 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang US$ 435 per ton.
Salah satu faktor penyebab kenaikan harga kedelai dunia karena lonjakan permintaan dari China kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.

Kedua, kata Anis yang juga ekonom itu, harus ada upaya peningkatan produksi kedelai lokal dan pengendalian impor. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani kedelai.

“Sebagaimana kita tahu, kondisi petani kedelai terlibas kebijakan pasar bebas 1995. Awalnya produksi lokal bisa memenuhi 70-75 persen kebutuhan kedelai dalam negeri, tetapi saat ini terbalik karena sekitar 70-75 persen kini dipenuhi dari impor,” tutur Anis.

Selain kebijakan impor, faktanya pemerintah kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton.

“Namun, hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4% dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton,” jelas wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur tersebut.

Ketiga, Anis menyoroti optimalisasi penggunaan Dana Desa. Salah satu evaluasi yang harus dilakuka, penggunaan Dana Desa untuk mengembangkan potensi desa. Program yang diselenggarakan dari dana desa seharusnya memiliki daya ungkit untuk membangkitkan ekonomi pedesaan.

“Seharusnya Dana Desa bisa dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Dan salah satunya adalah untuk pengembangan kedelai local. Indonesia swasembada kedelai 992 dan saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun,” kata pemegang gelar doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.

Keempat, Anis menyarankan agar Pemerintah segera memperbaiki tata niaga kebutuhan pangan dan memperhatikan pentingnya kolaborasi aktif antara Kementerian dan Lembaga terkait untuk menciptakan stabilitas harga pangan.

“Kenaikan kedelai adalah salah satu dari masalah yang sebenarnya merupakan kejadian berulang. Dan ini juga harus diantisipasi untuk bahan pokok lainnya misalnya beras, telur, daging, cabe, bawang dan masih banyak produk pangan lainnya,” papar dia.

Anis juga menegaskan agar Pemerintah menindak tegas para spekulan yang melakukan praktik penimbunan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus mencabut Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan tanpa kecuali.

“Sanksi tegas ini menjadi pelajaran atau shock therapy bagi para spekulan agar tidak lagi melakukan aksi penimbunan karena dapat menyebabkan harga menjadi tidak wajar,” demikin Dr Hj Anis Byarwati. (akhir).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait