Kegaduhan Ruang Publik, RUU HIP Ada Apa?

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com | Sepekan terakhir ini ruang publik terdengar gaduh dan kebisingan. Hal tersebut dipicu oleh suara lantang wakil rakyat tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Sebagai wartawan (beritalima.com) saya berkesempatan melakukan wawancara ekslusif dengan figur pengamat militer, pengamat kebijakan publik dan aktifis menyuarakan jeritan hati nurani rakyat. Dia adalah Wibisono, SH, MH. Wawancara ini dilakukan melalui telpon seluler pada Rabu, (26/5) pulul 16.00 Wib.

Sebagai orang Jakarta yag juga dekat dengan pusat pemerintahan, apa kesan Anda tentang RUU HIP ini?

Pembahasan RUU HIP sebaiknya dihentikan. Lho koq dikentikan? Ya, karena Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dinilai oleh publik sebagai salah satu RUU kontroversial yang dibahas DPR di tengah pandemi virus corona. Kontroversial dilihat dari sudut proses pembahasan- pengesahannya dan juga substansinya.

Lebih jauh, Wibisono menjelaskan dari sisi proses pembahasannya, rapat pengesahan draft Rancangan Undang undang atau RUU HIP di DPR RI, Selasa (15 Mei 2020), sempat diwarnai insiden, salah satunya mic di ruang rapat yang mati mendadak sehingga anggota DPR RI yang hadir tak bisa menyampaikan interupsinya.

Menurut Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) dan pengamat Militer, Wibisono, bahwa Pengesahan draft RUU HIP menjadi RUU dalam paripurna di DPR juga terkesan sangat tergesa-gesa, bersama sama dengan tiga RUU Lainnya yaitu RUU Corona, RUU Penanggulangan Bencana dan RUU Minerba.

Lanjut Wibi, saat itu tidak disediakan sesi penyampaian pandangan fraksi sehingga tidak diketahui fraksi mana saja yang setuju dan mana yang menolaknya, sehingga transpransinya sangat diragukan.

Bagaimana Pandangan Pak Wibi tentang RUU HIP dari ini aspek substansinya? Menurut Wibi; RUU ini mengandung banyak kontroversi sehingga memunculkan banyak pertanyaan di dalamnya, ada beberapa analisis yang di luar nalar yaitu alasan pembentukannya, status RUU dalam tata hukum nasional, legalitas Pancasila yang akan diundangkan, jenis Pancasila yang akan diundangkan serta status Tuhan dalam Pancasila di RUU Haluan Idiologi Pancasila.

“Kalau dilihat dari alasan pembentukannya, RUU HIP dinilai mengada ada,” kata Wibisono.

Berikut, pertanyaan ini beralih pada alasan pembentukannya, bagaimana dari sudut pandang analisis yuridis? Wibi menjelaskan bahwa dalam konsideran RUU HIP disebutkan, UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.

“Munculnya RUU HIP yang kontroversial itu sepertinya memang mengandung misi untuk melupakan sejarah masa lalu dan menatap langkah ke depan, ini seperti Pancasila abad 21,” ungkapnya.

Perlu dipahami bahwa dasar hukum berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, oleh karena itu kalau Pancasila yang dimaksudkan dalam RUU HIP itu adalah Pancasila yang berlaku sekarang maka Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran RUU. Selain itu bicara Pancasila kaitannya dengan dasar falsafah negara harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1.

Selain itu Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai pedoman larangan ideologi komunisme/ Marxisme-leninisme seharusnya juga dimasukkan dalam bagian konsiderannya. Tap MPRS tersebut berisi tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan paham atau ajaran komunisme/ Marxisme-Leninisme di Indonesia.

Mengenal RUU HIP

RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan program legislasi prioritas DPR RI pada tahun 2020 ini, dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi usul inisiatif DPR RI. Persetujuan ini diperoleh setelah sembilan fraksi mendukungnya. Awalnya RUU ini merupakan inisiatif fraksi PDI Perjuangan melalui Baleg yang kemudian disetujui oleh sidang paripurna DPR Republik Indonesia.

RUU HIP terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal. Pada bagian “Menimbang” dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara merupakan suatu haluan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur melalui Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehdupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa untuk mencapai tujuan bernegara tersebut diperlukan kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila. Dengan demikian RUU ini disusun atas dasar belum adanya undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya untuk apa haluan Ideologi Pancasila dijadikan Pedoman Penyelenggara Negara dalam melaksanakan kebijakan Pembangunan Nasional, sedangkan MPR-RI sebagai penjelmaan dari kedaulatan rakyat telah menyepakati adanya empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, kalau hanya berdasarkan Haluan Ideologi Pancasila, maka bisa memicu perpecahan bangsa.

Jadi, bagaimana statemen Anda tentang RUU HIP ini? “Selain itu kehadiran RUU HIP hanya akan mengacaukan tata hukum nasional saja. Secara hirarki, UU HIP memang seharusnya ada di bawah UUD 1945, namun karena substansi yang akan diatur adalah Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, maka UU HIP dalam penerapan/kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945,” ulasnya.

Wibi menambahkan bahwa Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila –yakni Gotongroyong, adalah gagasan Bung Karno yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan, melainkan masih berupa usulan sebagaimana usulan usulan lain yang disampaikan para tokoh lainnya.

Didalam pasal Pasal 7 ayat (2) ini juga terjadi keanehan dimana dinyatakan : “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Pertanyaan adalah Tuhan siapa yang berkebudayaan ?, Apakah kita akan mengukur sifat ketuhanan dengan kebudayaan ?, Tuhan dikungkung dalam bungkus Trisila. Selanjutnya menghilang di Ekasila. Tidak salah bila banyak pihak mencurigai RUU HIP ini berbau komunis.

“Saya menilai bahaya laten komunis dalam upaya merubah sistem ketatanegaraan kita memang sangat luar biasa. Selama ini PKI tidak ikut membahas perumusan Pancasila, tidak ikut sidang BPUPKI. Namun dalam setiap kesempatan dia selalu ingin mengubah ideologi negara kita Pancasila. Agaknya kalau dibiarkan RUU HIP akan menjadi seperti keberhasilan Amandemen UU’1945 yang menghianati para pendiri bangsa,dan daripada menimbulkan gejolak di masyarakat, sebaiknya pembahasan RUU HIP dihentikan untuk sementara,” pungkas Wibisono. (Adi).

beritalima.com

Pos terkait